JEMBATAN KE MADURA (Indonesia, 1864 - 1994)
Pernahkan pembaca mendengar tentang jembatan sepanjang dua puluh kilometer, yang hendak dibuat sebagai penghubung antara pulau Jawa dan pulau Madura?
Mungkin pembaca pun sudah mendengar tentang adanya berbagai-bagai hambatan berkenaan dengan proyek raksasa tersebut, sehingga bertahun-tahun lamanya jembatan ke Madura itu belum jadi dibuat. (Catatan : Pada tgl 10 Juni 2009 akhirnya dibuka jembatan Suramadu yang menghubungi Surabaya dan Madura sepanjang 5.4 km)
Pasal ini memang memuat kisah nyata tentang sebuah "Jembatan ke Madura", tetapi bukan jembatan sepanjang dua puluh kilometer tadi. Namun jembatan yang diceritakan di sini, juga cukup lama mengalami berbagai-bagai hambatan, sehingga baru dapat dibuat setelah 130 tahun.
Jembatan itu tidak dilewati oleh truk, bis, dan mobil, tetapi oleh kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus. "Jembatan ke Madura" yang dimaksud di sini, tak lain ialah Alkitab dalam bahasa Madura, yang selama satu abad lebih penting penerbitannya berkali-kali tertunda.
Mengapa begitu sulit menyediakan Firman Allah dalam bahasa Madura? Suku Madura itu bukanlah sekelompok kecil orang-orang yang tinggal di pedalaman, jauh dari orang lain. Di wilayah Indonesia, mereka itu malah menempati posisi ketiga dalam daftar suku yang terbanyak penduduknya. Letak pulau Madura itu sangat dekat dengan pulau Jawa, sedangkan suku Jawa sudah memiliki Firman Allah dalam bahasa ibu mereka sejak satu setengah abad yang lalu. Lagi pula, banyak orang Madura yang tinggal di pulau Jawa; banyak juga yang kawin dengan orang Jawa.
Namun kenyataannya, penerjemahan dan penerbitan Alkitab bahasa Madura itu berkali-kali mengalami hambatan besar.
Seolah-olah ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar diantara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka . . . .
Kisah panjang yang menyedihkan itu mulai satu setengah abad yang lalu. Pada pertengahan abad ke-19, ada seorang penduduk pulau Jawa keturunan Madura yang bernama Tosari. Setelah ia menjadi orang Kristen pada tahun 1843, Bapak Tosari berusaha membawa Kabar Baik ke pulau nenek moyangnya. Tetapi orang-orang Madura tidak mau menerima dia. Lalu ia kembali ke Jawa Timur, dan atas kesaksiannya banyak sekali orang Jawa menjadi percaya. Pada tahun-tahun terkemudian, ia dijunjung tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan nama kehormatan: Kiayi Paulus Tosari.
Salah seorang utusan Injil dari negeri asing yang melayani di Jawa Timur pada masa hidup Kiayi Paulus Tosari itu adalah Samuel Harthoorn. Karena selisih pendapat dengan rekan-rekannya, Pdt. Harthoorn pulang ke Belanda setelah beberapa tahun di pulau Jawa. Di tanah airnya ia menikah, lalu kembali lagi ke Nusantara sebagai seorang penginjil mandiri.
Pada tahun 1864 suami-istri itu mulai menetap di Pamekasan, sebuah ibu kota kabupaten di Madura. Selama empat tahun mereka berusaha menjajaki persahabatan dengan penduduk setempat. Mereka berharap bahwa keakraban itu dapat menjadi suatu jembatan penginjilan.
Lalu . . . tragedi belaka. Pada tahun 1868, ketika Pdt. Harthoorn sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan mengepung rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah terjadi peristiwa yang begitu mengerikan, duda yang berdukacita itu meninggalkan pulau Madura selama-lamanya.
Sementara itu, di negeri Belanda ada seorang pendeta muda yang pandai; namanya, J. P. Esser. Ia belajar teologia dan juga belajar bahasa Madura, sampai ia mencapai gelar doktor. Pada tahun 1880 ia berusaha memasuki pulau Madura, tetapi tidak berhasil. Lalu ia menetap di Bondowoso, dan kemudian, di Sumberpakem; konon, kedua kota kecil di Jawa Timur itu penduduknya banyak yang keturunan suku Madura.
Berkat usaha Dr. Esser dan kawan-kawannya, seorang Madura bernama Ebing dibaptiskan pada tahun 1882. Berkali-kali Bapak Ebing mengelilingi pulau Madura, sambil menyampaikan cerita-cerita Alkitab yang telah diterjemahkan oleh Dr. Esser.
Pada tahun 1886, Dr. Esser sudah menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia mengambil cuti dinas ke Belanda, agar terjemahannya itu dapat diterbitkan. Tetapi proyek "Jembatan ke Madura" itu mengalami berbagai-bagai hambatan. Hambatan yang terbesar: Dr. Esser sendiri meninggal dunia pada umur yang masih muda, baru 37 tahun. Bahkan sebagian hasil karyanya berupa naskah terjemahan itu rupa-rupanya hilang.
Pada tahun 1889, yaitu tahun meninggalnya Dr. Esser, Tuhan telah menyediakan seorang penggantinya. Dia itu seorang pendeta muda bernama H.van der Spiegel, yang merasa terharu ketika mendengar tentang gugurnya Dr. Esser. Pada tahun 1889 itu juga ia berangkat ke Jawa Timur, untuk meneruskan pelayanan almarhum Dr. Esser di Bondowoso dan di Sumberpakem. Ia pun mengerahkan tiga orang Madura untuk menolong memperbaiki dan menyempurnakan naskah Kitab Perjanjian Baru peninggalan Esser itu.
Ketika naskah buram terjemahan itu sudah selesai, Pdt. Van der Spiegel sempat mengunjungi pulau Madura. Atas dasar perkenalannya dengan orang-orang Madura di sana, ia pun meredaksikan kembali hasil karyanya. Lalu pada tahun 1903 ia pulang ke Belanda, dengan tujuan menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura sama seperti Dr. Esser 17 tahun sebelumnya.
Tetapi selama Pdt. Van der Spiegel memperjuangkan proyek penerbitannya di Belanda, kembali tragedi menimpa di antara umat Kristen Madura. Gereja tempat pelayanan Bapak Ebing di Slateng itu dibakar. Seorang penginjil Madura lainnya bersama istrinya nyaris mati, pada saat rumah mereka di Sumberpakem dikepung dan dibakar.
Mungkin hambatan itu membawa pengaruhnya pula di Belanda, sehingga hasil karya Van der Spiegel yang jadi diterbitkan, hanyalah dua Kitab Injil saja, ditambah sebuah buku yang memuat 104 cerita Alkitab dalam bahasa Madura. Bahkan ketika Pdt. Van der Spiegel meninggal pada tahun 1919, masih belum keluar Kitab Perjanjian Baru bahasa Madura yang lengkap.
Salah seorang rekan sekerja Pendeta Van der Spiegel ialah Pendeta F. Shelfhorst, yang telah melayani di Bondowoso dan di Sumberpakem sejak tahun 1904. Seorang penginjil suku Madura memberitahu Pendeta Shelfhorst bahwa orang-orang Madura di kepulauan Kangean, di sebelah timur pulau Madura, rupa-rupanya lebih terbuka terhadap Kabar Injil daripada orang-orang Madura di pulau induknya.
Berita yang membesarkan hati itu tidak disia-siakan oleh Pendeta Shelfhorst. Dari tahun 1912, ia tinggal dengan keluarganya di Pandeman, Kangean. Pendeta Shelfhorst memberi banyak bantuan pengobatan kepada para penghuni setempat. Ibu Shelfhorst membuka kelas-kelas kepandaian putri. Sebagai jembatan Injil mereka juga menggunakan lagu-lagu, gambar-gambar, cerita-cerita Alkitab, dan kelompok diskusi. Namun hampir tidak ada seorang pun yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus.
Setelah berpuluh-puluh tahun tanpa hasil nyata, Pendeta Shelfhorst mulai mengkhususkan proyek penerjemahan Firman Tuhan. Pada tahun 1933 Kitab Mazmur bahasa Madura diterbitkan, berbentuk sebuah buku yang indah, sangat mirip dengan kitab-kitab suci yang sudah biasa beredar di kalangan suku Madura.
Pada tahun 1935 Pendeta Shelfhorst pensiun atas permohonannya sendiri. Tetapi ia tidak pulang ke Belanda! Malahan ia menetap di pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Firman Tuhan dengan giat serta mengutus keluar para penjual bahan cetakan Kristen. Hasil karyanya berupa Surat-Surat Perjanjian Baru dalam bahasa Madura itu ada banyak yang distensil dan dibawa para pembantunya ke mana-mana.
Ketika Pendeta Shelfhorst masih di tengah-tengah pelayanannya di daerah pegunungan itu, bala tentara Jepang mengepung Jawa Timur pada tahun 1942.
Tiga tahun kemudian, ia meninggal dalam sebuah kamp tahanan Jepang di Jawa Tengah, setelah selama 41 tahun berusaha untuk menginjili suku Madura. Dan terjemahannya berupa stensilan itu tidak pernah diterbitkan.
Salah seorang kawan senasib Pendeta Shelfhorst di kamp tahanan itu adalah A. J. Swanborn, seorang Belanda keturunan Swedia. Sudah berpuluh-puluh tahun ia pun berusaha menginjili suku Madura, namun kisah karirnya sangat berbeda dengan riwayat Pendeta Shelfhorst.
Sejak masa mudanya di Belanda, A.J. Swanborn merasakan panggilan Tuhan untuk pergi ke pulau Madura dan menyampaikan kisah kasih Tuhan Yesus. Namun rupanya untuk ke pulau Madura itu tidak ada jembatan yang dapat dilewatinya. Pada tahun 1899, memang ia ditunjuk menjadi utusan Injil, tetapi ia ditugasi ke pulau-pulau Sangir-Talaud, lalu ke Jakarta, kemudian ke Yogyakarta, dan akhirnya ke Kalimantan Selatan.
Namun A. J. Swanborn masih tetap merasakan panggilan Tuhan untuk menaati Amanat Agung-Nya di pulau Madura. Karena badan Zeding tidak setuju mengutus dia ke sana, ia mengundurkan diri sebagai utusan Injil. Kemudian ia menjadi seorang pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1914 ia dikirim ke kota Pamekasan sebagai kepala sekolah rakyat. Di sekolah itu ia memang tidak boleh mengabarkan Injil. Tetapi pada sore hari ia membuka sebuah sekolah swasta atas biayanya sendiri. Melalui usaha itulah ia mulai menginjili anak-anak Madura.
Bapak Swanborn juga berusaha menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Madura. Ia pun masih di tengah-tengah pelayanannya pada saat bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia. Sama seperti Pdt. F. Shelfhorst, ia juga ditahan, dan kebetulan kedua kakek yang sangat setia ini ditampung di Jawa Tengah, di kamp yang sama.
Di situ kedua-duanya dengan gigih memperjuangkan proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Madura. Rupanya pendeta Shelfhorst mengukhususkan Surat-Surat Perjanjian Baru, sedangkan spesialisasi Bapak Swanborn adalah keempat Kitab Injil dan Kisah Para Rasul. Sama seperti Pendeta Shelfhorst, Bapak Swanborn juga meninggal dalam tahanan pada bulan Mei 1945, hanya beberapa minggu saja sebelum Perang Dunia Kedua mereda.
Naskah terjemahan Bapak Swanborn itu diwariskannya kepada putri-putrinya. Mereka mengirim naskah yang sangat berharga itu kepada perwakilan Lembaga Alkitab Belanda di kota Bandung. Namun . . . celaka lagi. Konon, masa itu masa perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia. Dalam kerusuhan peperangan, naskah tadi rupa-rupanya tidak pernah sampai ke tangan orang-orang yang dapat mengusahakan penerbitannya . . .
Nah, bagaimana pendapat pembaca, setelah menelusuri kisah tragedi yang berulang-ulang? Bukankah seolah-olah ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka?
Syukurlah, ceritanya tidak berakhir sampai disitu saja!
Pada bulan September 1994, yaitu genap 130 tahun sejak Pdt. Samuel Harthoorn beserta istrinya mula-mula pindah ke Pamekasan, Lembaga Alkitab Indonesia berhasil menerbitkan Alkitab lengkap dalam bahasa Madura.
Kini "Jembatan ke Madura" itu sudah menjadi kenyataan. Maukah Saudara turut mendoakan, semoga kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus akan melewati jembatan itu sehingga masuk ke dalam hati dan jiwa banyak orang Madura?
Thursday, August 26, 2010
Jembatan Ke Madura
Technorati Tags: samuel harthoorn,alkitab,madura,jawa,surabaya,firman allah,tosari,j.p. esser,bondowoso,van der spiegel,ebing,shelfhorst,a.j. swanborn,swedia,belanda,jepang
Popular Posts
-
Smith Wigglesworth - Rasul Iman Pemberani Smith dilahirkan tanggal 8 Juni 1859, di satu desa kecil Menston, Yorkshire, Inggris. Kedua o...
-
Arti Kotbah & Persiapannya Agnes Maria: Khotbah itu Harus Dihidupi! Agnes Maria Layantara dulu dikenal sebagai song leader dan pener...
-
Doa Syafaat untuk Pendeta Prayer Shield oleh C Peter Wagner disarikan oleh Deny S Pamudji Doa syafaat (intercessory prayer) me...
-
A FIRM Foundation (Deuteronomy 6:1-9) These words which I command you . . . you shall teach them diligently to your children. —Deuteron...
-
CARILAH HIKMAT SEPERTI MENCARI PERAK Perak adalah logam mulia. Andaikata kita diberi kebebasan mencari perak di tambang perak tentu akan b...
-
Claudia Procula (Matius 27:19) Claudia Procula adalah isteri dari Pontius Pilatus dan juga merupakan anak tidak sah dari Kaisar Agustus. ...
-
Santet oleh Deny S Pamudji Santet, teluh, tenung atau guna-guna merupakan suatu perbuatan untuk menyakiti (membuat sakit, lumpu...
-
Bebas dari Cengkraman Setan He Came to Set the Captives Free oleh Rebbeca Brown, M.D disarikan oleh Deny S Pamudji Ela...
-
It Was Meant to Be Marcel Sternberger was a methodical man of nearly 50, with bushy white hair, guileless brown eyes, and the bouncing en...
Bartimeus Ganjaran Allah Strategi Setan Doa Syafaat Yesus Real Christmas Menghancurkan Benteng Musuh Iman Menyembuhkan Stefanus Santet Natal Kasih Menakjubkan Mendapat Rumah Injil Yoo Ye Eun Pengaruh Besar Roh Sekilas Pandang Good Example Doa Syafaat Janji Tuhan Saat Suka Cita Sekitar Anak Kisah Nyata Mel Gibson Yesus Dalam Quran Tembok Api Menjadikan Tuhan Yang Terutama Roh Kudus Menyembah Allah Yang Benar Injil Di Toserba Doa Sederhana Luput Dari Maut Coincidence? Tabur Tuai Zakheus Noda An Editor Ujian Untuk Yesus Perjalanan Ke Amerika 2 Sombong Siap Siaga Roh Dunia Roh Teritorial Lima Roti Dua Ikan Krisis dan Kristus Dunia Roh Adakah Malaikat? Beritakan Kasih Allah Kenaikan Yesus The Secret Contoh Teladan Kekuasaan Melawan Roh Teritorial Kisah Martir Berkat Atau Kutuk Astrologi Bintang Permainan Iblis Perjalanan Ke Amerika Yesus Gembala Yang Baik Seperti Yesus Smith Wigglesworth Menyangkal Atau Mati Because He Is Ditolong Malaikat Mata Kasih Lukisan Kedamaian Kesaksianku Bebas Dari Gereja Setan Kornelius Kuatir Ragam Pencobaan Saat Kelabu Doa& Kuasa Kisah Tony Melendez Sok Tahu Korea Malaikat Kerja Sama Fung Shui Tubuh White Roses Mencari Dongeng Kasih Ibadah Palsu Barabas Sepuluh Langkah Menghadapi Krisis Bagaimana Berdoa? Menikah Gratis Latihan Ganda Cinta Uang Penghibur Nikodemus Anugerah Allah Pembela Keadilan Paskah Serba Untung Nafsu Tidak Berterima Kasih