Arti Kotbah & Persiapannya
Agnes Maria: Khotbah itu Harus Dihidupi!
Agnes Maria Layantara dulu dikenal sebagai song leader dan penerjemah buku rohani. Kini orang mengenalnya sebagai penginjil dan pengkhotbah keliling yang laris. Dalam setahun, paling tidak isteri Hanny Layantara, Gembala GBI Happy Family Surabaya ini bisa diundang khotbah sebanyak 500 kali. Jumlah ini belum termasuk khotbah di gereja yang dilayani oleh suaminya itu.
Direktur program D.Min (Doctor of Ministry) Sekolah Tinggi Teologi Injili (STII) Surabaya ini tentu tidak "Sim salabim!" jadi salah satu penginjil yang most wanted (paling dicari). Pemegang gelar MA di bidang misiologi ini memulai debutnya sebagai pengkhotbah sejak tahun 1988. Menurutnya, kemampuan khotbah itu tidak datang tiba-tiba. Dia memulainya justru dengan sharing di PMK di Bandung. "Mula-mula saya diminta membawakan renungan kaum muda, kemudian Tuhan tambahkan kemampuan saya," ujarnya.
Dengan melihat tingginya jam terbang, kita tentu bertanya-tanya bagaimana perempuan yang suka travelling ini mempersiapkan khotbahnya. "Saya senang khotbah berseri, misalnya, dari Kitab Yosua," jelasnya. Tidak hanya itu, kegemarannya membaca buku sangat menolongnya. Dari buku-buku yang dibaca, perempuan cantik kelahiran Cirebon ini mempelajari latar belakang teks yang sedang ditelitinya dan dikaitkan dengan konteks sekarang.
Apa tidak sukar? "Tampaknya saya memiliki karunia berkhotbah," ujarnya tanpa bernada sombong, "karena ada orang yang tampaknya setengah mati mempersiapkan khotbah. Kalau saya tidak sesukar itu. Suami saya sampai komentar, 'kamu itu kok kelihatan santai saat mempersiapkan khotbah.'"
Saat teduh rupanya juga menjadi ajang untuk mempersiapkan khotbah. "Sepanjang hari ayat itu saya renungkan, sehingga waktu persiapan, point-point-nya sudah muncul," tambahnya.
Ada ungkapan yang terkenal bagi para komunikator, yaitu Walk the Talk, lakukan apa yang Anda ucapkan. Bagaimana karakter seorang pengkhotbah yang baik menurut Agnes? "Khotbah itu bisa dipelajari karena ada ilmunya. Tetapi kalau dia tidak hidup di dalamnya, buat apa? Seperti jual obat kan?" gugatnya. "Saya kalau berkhotbah inginnya duduk sama rendah dengan jemaat. Saya tidak mau jemaat merasa pengkhotbah itu hebat dan lebih tinggi, padahal mereka nggak bisa menjangkaunya. Misalnya, kalau berkhotbah tentang kesabaran, saya tidak malu menceritakan ketidaksabaran saya. Tetapi tentu saja mereka juga harus tahu bagaimana cara saya menang dan menjadi seorang yang sabar," jelasnya.
Menurutnya, seorang pengkhotbah harus menjadi dirinya sendiri. Jadi, kalau misalnya, seseorang tidak pernah menang di bidang keluarga, maka dia perlu menggumulinya lebih dalam. "Dengan demikian, khotbahnya akan punya power," ujarnya. "Berkhotbah itu menyuarakan suara Tuhan, sehingga kalau kita tidak peka, khotbahnya bisa tidak pas. Kedua, dia harus mengandalkan Tuhan dan tidak mengandalkan pengalaman, apalagi dirinya sendiri. Saya pun kalau mau berkhotbah biasanya berdoa begini, Tuhan, apa yang ingin Engkau sampaikan melalui aku. Jadi bukan, 'Tuhan, ini khotbahku, berkatilah!" tambahnya.
Menurut pengasuh rubrik "Konseling Keluarga" di BAHANA ini, keseimbangan antara karakter dan karisma harus terjaga agar kita tidak jatuh ke dalam masalah uang. "Kita harus jujur terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhan," tuturnya bijak, "karena khotbah itu harus dihidupi." Amin! (Xavier)
Abraham Alex Tanuseputra : "Jangan Pandang Tempat Pelayanan"
Nama Pdt. DR. Abraham Alex Tanuseputra identik dengan Bethany. Apalagi setelah Bethany mendirikan sinode sendiri. Sejak 19 September 2003, secara aklamasi, Alex terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Pekerja Gereja Bethany Indonesia. Sejak bertobat pada tahun 1965, mantan pengusaha apotek ini meninggalkan semua pekerjaan dan terjun dalam pelayanan. Pelayanannya berawal dari pengkhotbah-penginjil. "Saya mulai dari penjara, sebab belum ada gereja yang mengundang saya. Kemudian pelayanan Kenabian. Saya menyampaikan pesan Tuhan dan mereka diberkati karena pesan itu sesuai dengan kebutuhan jemaat yang mengundang saya," ujar ayah tiga orang anak ini.
Setelah itu, putra Mojokerto kelahiran 1 Juni 1941 ini menjadi gembala, sehingga khotbahnya bukan cuma pesan, tetapi juga hukum. Dia memimpin jemaatnya sesuai dengan visi dari Tuhan yaitu yang dikenal dengan motto Succesful Bethany Families.
Saat ditanya berapa kali berkhotbah dalam satu tahun, Alex menjawab secara matematis, "Saya tidak pernah menghitung berapa kali berkhotbah. Hari Minggu rata-rata saya berkhotbah tiga kali. Hari Selasa sampai Jumat saya berkhotbah ke beberapa gereja cabang .Hari Kamis rata-rata dua kali. Hari Rabu satu kali di Jakarta Revival Centre." Jangkauan langkah pelayanannya tidak saja antarkota, tetapi juga antarpulau, dan antarengara seperti Amerika dan Jepang.
Bagaimana persiapan khotbah pendeta yang selalu terlihat bersemangat ini? "Saya tidak punya ketentuan berapa lama mempersiapkan khotbah, tetapi hari-hari dalam kehidupan saya adalah mencari kehendak Tuhan bagi hidup dan pelayanan saya. Dari pesan Tuhan itulah khotbah saya susun dan persiapkan," jawab ayah dari Hanna Asti, Aswin dan Andre Tanuseputra ini.
Meski jadwal pelayanan khotbahnya padat, Alex tidak bisa menyatakan punya karunia berkhotbah, "Saya selalu bertitik tolak pada hasil, produktivitas atau buah. Melalui khotbah saya, jemaat yang mendengar bisa menerima jawaban atas pergumulan. Mereka dikuatkan, dipulihkan, dan mengalami pertumbuhan. Biar Anda dan orang luar sajalah yang menilai apakah Tuhan memberi saya karunia berkhotbah dalam pelayanan saya atau tidak," jelasnya merendah.
Menurutnya, khotbah yang baik itu harus dapat menjawab pergumulan jemaat atau pendengarnya. Sedangkan karakter pengkhotbah yang baik adalah mereka yang selalu berupaya hidup dalam kebenaran Firman Tuhan. Firman Tuhan, menurutnya, seperti pedang bermata dua. "Sebagai pengkhotbah, kita harus betul-betul mempersiapkan diri sebelum Firman Tuhan itu disampaikan kepada jemaat," tegasnya.
Untuk menjaga dirinya agar tidak ditolak setelah menyampaikan Firman Tuhan, penerima dua doktor dari International Christian University dan Lee University (keduanya di Amerika Serikat) ini, berkata, "Saya menjaga diri untuk hidup dalam kebenaran Firman Tuhan. Kalau Tuhan mengingatkan saya melalui iluminasi (penerangan, red.) atau siapa saja-rekan hamba Tuhan, staf, keluarga, bahkan jemaat-saya cepat-cepat bertobat. Itu sebabnya melalui mimbar saya sering memberitahu supaya jemaat mengirim surat kaleng buat saya, sehingga saya sadar akan kesalahan saya dan cepat bertobat."
Sebagai pendeta senior, Alex memiliki pesan bagi hamba Tuhan yang lebih yunior, "Teruslah melayani dan jangan pandang tempat untuk melayani. Setia, tekun dan teruslah menabur, sebab itulah cara kita mencairkan kuasa, hikmat dan kekayaan Allah. Kita juga harus banyak berdoa, berpuasa dan membaca Alkitab, karena dengan itulah kita bisa menjadi saluran berkat."
Mengakhiri wawancaranya dengan BAHANA, Alex justru menasihati jemaat untuk tidak meremehkan khotbah yang mereka dengar. "Aminkan setiap perkataan Firman Allah yang disampaikan pengkhotbah, sebab sejauh saudara aminkan, sejauh itu juga kuasa Firman Allah terjadi dalam hidup Saudara." Amin! (Xavier)
Bambang Wijaya : "Memadukan Hermeneutika Dan Homiletika"
Pdt. Dr. Bambang Wijaya memulai pelayanan mimbar sejak 1982 di sebuah Persekutuan Doa Mahasiswa. Hingga hari ini, Bambang yang berpendapat bahwa berkhotbah bukan karunia, tetapi sebuah keharusan dalam panggilan pelayanan itu, rata-rata berkhotbah 150-200 kali dalam setahun. Kecuali untuk khotbah berseri di radio yang memang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, Gembala Sidang GKPB "Fajar Pengaharapan" Bandung ini mengaku menggunakan setiap hari dalam seminggu untuk mempersiapkan khotbah. "Pada hari Senin, saya sudah harus berpikir lagi tentang tema apa yang akan disampaikan minggu berikutnya. Hari Sabtunya, apa yang yang sudah dipersiapkan itu distrukturkan kembali menjadi bahan khotbah," paparnya. Untuk mengasah ketrampilan berkhotbahnya, Bambang juga memperlengkapi diri dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan Homiletika. Di samping itu, dia juga belajar dari pengkhotbah lain untuk mengambil sisi positif yang bisa diteladani.
Ketua Umum Persekutuan Injili Indonesia (PII) ini berpendapat bahwa sedikitnya ada tiga syarat berkaitan dengan khotbah yang baik. Pertama, khotbah itu harus Alkitabiah. Kedua, khotbah itu harus sesuai dengan kehendak Allah. Artinya menjawab kebutuhan umat pada saatnya sesuai dengan apa yang ingin Allah sampaikan. Alkitab yang kaya dengan isi, tidak mungkin disampaikan sekaligus dalam sekali khotbah. Pengkhotbah harus tahu bagian mana yang akan disampaikan pada umat sesuai dengan yang Tuhan inginkan, sehingga relevan bagi umat. Ketiga, khotbah itu bisa dimengerti umat. Sebab tidak ada gunanya Alkitabiah dan sesuai dengan kehendak Allah, kalau tidak dimengerti umat. Di sinilah letak pentingnya hubungan antara homiletika (ilmu berkhotbah) dan hermeneutika (ilmu menafsirkan Alkitab).
Tentang bagaimana karakter seorang pengkhotbah yang berkenan di hadapan Tuhan, Bambang menyaratkan tiga hal. Pertama, ia harus menghayati (hidup dalam) apa yang dia sampaikan. "Kalau dia bicara tentang kejujuran, sementara dia sendiri tidak jujur, khotbah itu seperti lontaran kata-kata kosong ke udara hampa dan tidak ada kuasanya," tegasnya. Firman Allah akan menjadi lebih efektif kalau si pengkhotbah hidup di dalamnya. Kedua, tidak menyampaikan khotbah dengan sikap menggurui. Ketiga, melayani karena mengasihi umat, bukan karena kewajiban semata-mata.
Menurut pengkhotbah yang juga Ketua Sekolah Tinggi Teologi INTI ini, pada waktu berkhotbah, sebenarnya yang disampaikan adalah kebenaran yang memerdekakan. Firman Allah memerdekakan pendengarnya dari ketidakmengertian, keterikatan atas dosa dan atas kuasa kegelapan yang mengikat hidupnya. Khotbah menjadi tidak efektif kalau iblis berhasil menjebak dan menjerumuskan pengkhotbah sehingga hidupnya bertentangan dengan yang dikhotbahkan.
Untuk pengkhotbah pemula, pendeta yang mengaku menyukai jenis khotbah ekspositori ini memiliki beberapa tips yang bisa diterapkan. Pertama, memahami Alkitab secara komprehensif dengan membaca kitab Kejadian hingga Wahyu secara terus menerus. "Bagaimana mungkin bisa mengkhotbahkan Alkitab kalau tidak mendalami, mencintai dan menggumulinya?" tanyanya. Kedua, mengerti doktrin Alkitab secara sistematis. Pemahaman Alkitab yang menyeluruh tanpa pemahaman doktrin yang benar akan menimbulkan masalah dalam hal penafsiran. Ketiga, mengumpulkan sebanyak mungkin ilustrasi. Menurutnya, ilustrasi ibarat jendela yang membuat ruangan menjadi lebih terang kala dibuka. "Ilustrasi memperjelas khotbah yang kita sampaikan," kata pengkhotbah yang mengarsipkan ilustrasi yang berasal dari pengalaman pribadinya di dalam PDA-nya ini. (Joko Prihanto)
Dora Dulak Kansil:"Saya Tak Pandai Khotbah."
Mengawali pertemuannya dengan BAHANA, Dora Kansil berkisah, "Saat saya diproses untuk melayani Tuhan, suami (Ir. Budi Hartono-red) sudah terlebih dulu diproses Tuhan." Hingga kini rumahnya di bilangan Pulo Mas, Jakarta Timur masih tetap dipakai sebagai pos pelayanan. Sedangkan untuk ibadah Minggu ia dan jemaat gembalaannya beribadah di Restoran Raja Laut, Rawasari, sebelumnya di Dwima Plaza.
Berbicara soal pelayanan, Dora tak bisa dipisahkan dari suaminya. Tentang hal ini Budi pun lantas berkisah. Ia pernah mengalami kesulitan keuangan saat masih kuliah. Tapi justru saat itu dari benaknya muncul sebuah tekad mempersembahkan yang ia miliki jika nantinya Tuhan limpahi dia dengan dengan harta benda. Tekad itu memang terbukti kemudian. Budi amat mendukung pelayanan Dora.
"Saya lahir dari keluarga yang memang senang berkumpul dan doa bersama. Rumah Opa-Oma saya selalu terbuka untuk Tuhan," jelas Dora. Dora masih ingat betul rumah Opanya menjadi tempat menginap para pendeta dan hamba Tuhan.
Nampaknya, doa memang menjadi ciri kuat dalam pelayanan Dora. Jangan heran jika di setiap persekutuan yang dipimpinnya, doa yang berjam-jam menjadi menu utama "Saya tak pandai khotbah. Tapi sungguh saya amat senang ketika mengajar dan memimpin konser doa," kata nenek dari dua cucu, Axell dan Ashley Rotinsulu yang masih terlihat charming itu.
Kerinduannya menggairahkan semangat doa di Indonesia sangat kuat. Karena itu ia mendirikan sebuah Bukit Doa yang terkenal dengan nama Mount Hermon atau Lembah Yosafat di desa Batulawang, Kabupaten Cianjur. Bukit doa yang sangat megah. Berdirinya bukit doa tersebut ternyata juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar. Selain melibatkan masyarakat dalam pembangunan jalan, jalan itu juga menjadi jalan umum. Hal ini tentu dimaksudkan untuk menjawab amanat Yeremia 29 ayat 7: "Usahakanlah kesejahteraan kota di mana Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu, sebab kesejahteraanya adalah kesejahteraanmu."
Dari upaya tersebut, belum lama ini, Budi terpilih menjadi salah satu tokoh masyarakat yang berjasa dalam membangun masyarakat. Sebuah kesaksian, tentunya.
Pelayanan Tubuh Kristus, begitulah Dora menamai pelayanannya."Saya terbuka melayani dari berbagai denominasi. Saya akan pergi ke mana pun Tuhan utus, tidak pilih-pilih," jelasnya. Jadi tidak mengherankan dalam satu hari ia bisa berkotbah dua kali bahkan sering kali ia terpaksa menolak undangan kalau bertepatan dengan Jumat malam yang merupakan jadwal doa semalam suntuk di bukit doa miliknya.
Bagaimana Dora mengantisipasi gangguan orang ketiga yang kerap menimpa pemimpin gereja? "Saya pergi ke mana-mana selalu dengan tim, keluarga atau suami. Jangan ada celah," jawab ibu dari Jane Astrid, Jessica Adelia, Jovita Amelia dan Yohanes Alexander, kelahiran Moutong Sulawesi Tengah 15 September 1956. Budi pun tersenyum menatap istri yang dinikahinya 12 November 1978 itu. (Niken Maria Simarmata )
Jeffry S Tjandra : "Modalnya Intim Dengan Tuhan"
Menjadi pengkhotbah! Kata-kata itu tidak pernah terlintas di pikiran Jeffry S. Tjandra saat ditanya cita-citanya ketika masih kecil. Tetapi siapa menyangka, sejak bulan Oktober lalu sampai Maret tahun depan, buku agendanya sudah penuh dengan jadwal berkhotbah maupun menyanyi.
Itulah yang membuat Jeffry tidak habis mengerti. "Mulanya saya ini penyanyi koor di GKI. Setelah itu bergabung dengan vokal group 'Yerikho', menjadi singer di Bethany lalu akhirnya dipercaya menjadi worship leader," papar Jeffry usai menjadi pembicara dalam seminar yang digelar oleh GKJ Sawokembar, Jogja. Sejauh itu, "karirnya" memang berjalan lempang. "Tapi, nggak tahu mengapa, ada gereja yang mengundang untuk berkhotbah," lanjut Jeffry. Hal itu mengherankan, soalnya dia merasa tidak punya karunia berkhotbah. Namun pelantun lagu "S'perti Bapa Sayang Anak-Nya" ini menduga, gereja itu melihat ada potensi berkhotbah dalam dirinya, sebab sebelum menyanyi dia selalu mengawalinya dengan bertamsil. Dengan mengucapkan beberapa kata-kata, dia berusaha membawa jemaat ke dalam suasana pujian dan penyembahan.
Sebelum berkhotbah, Jeffry mengaku tidak pernah melakukan persiapan khusus. Menurutnya, modal utama berkhotbah adalah memiliki keintiman dengan Tuhan. "Yang disebut intim dengan Tuhan itu bukan hanya soal bersaat teduh setiap hari selama dua jam," kata pria yang susah menahan linangan air mata bila merasakan hadirat Tuhan ini. Dia tidak bermaksud mengatakan, saat teduh itu tidak penting. Dia hanya ingin menekankan, keintiman dengan Tuhan itu terjadi setiap saat. Dia mencontohkan, saat menyelam dan melihat pemandangan indah di Bunaken, dia lalu menangis dan bersyukur pada Tuhan. "Saya sering ngobrol akrab dengan Tuhan," ungkap Jeffry.
Dari pengalaman dalam keseharian itulah Jeffry mendapatkan bahan khotbah. "Makanya khotbah saya lebih banyak berisi tentang kesaksian pribadi," ujar Jeffry. Penyanyi yang mempopulerkan lagu "Allah Peduli" ini lebih sering memakai khotbah sebagai sarana sharing pengalaman rohani pribadinya.
Meskipun jadwalnya super padat, Jeffry tidak pernah mengalami kekeringan rohani atau burn out. Dia bersyukur, kesibukannya itu justru membuatnya hanya memikirkan masalah rohani. "Seharian yang saya omongin adalah firman Tuhan melulu," katanya dengan tergelak.
Meski selalu menyampaikan firman Tuhan, Jeffry tidak menampik adanya kemungkinan, para pengkhotbah bisa jatuh dalam dosa. "Seperti pohon yang tinggi," Jeffry memberi ilustrasi, "semakin tinggi pucuk pohon, semakin kecil batangnya, tetapi semakin kuat terpaan anginnya." Terpaan itu berasal dari tiga pihak: serangan Iblis, kelemahan pengkhotbah itu dan pengagungan berlebihan dari jemaatnya.
Jeffry mencontohkan hamba Tuhan yang dikawal body guard dan didampingi asisten yang membawakan tasnya. Pengagungan yang berlebihan ini bisa mengarah ke kultus individu. "Ada yang mengatakan, hal itu sebenarnya bukan keinginan hamba Tuhan, melainkan kemauan orang yang di sekitarnya. Tapi kalau dia senang mendapat seperti itu, ya patut dicela. Sebenarnya dia kan melarang orang lain untuk melakukan itu," saran Jeffry.
Ketika ditanya cara bekhotbah yang baik, Jeffry mengaku tidak tahu, karena setiap orang punya gaya sendiri. "Misalnya, khotbah pak Pariadji pasti tidak jauh dari kesembuhan, karena karunianya memang begitu. Kalau pak Stephen Tong, pengajarannya sangat kuat. Sedangkan saya yang banyak bergerak di dalam praise and worship, otomatis ada banyak pujian dan penyembahannya di dalamnya," papar produser album rohani Edward Chen ini. (Wawan/Men Yon)
Jonathan Pattiasina: "Normalnya Sebuah Kotbah Hanya Berdurasi 30 Menit."
Hidup di jalanan adalah keseharian Jonathan Pattiasina remaja. Ia sangat akrab dengan minuman keras, perkelahian dan berbagai bentuk kenakalan lain. Meski begitu ia masih ingat pergi ke gereja walau hanya sesekali. Pada umur 16 ia mengalami perubahan drastis. Tuhan menyapanya lewat khotbah seorang pendeta dalam acara camp. Saat itu ia yang se-vokal group dengan Andre Hehanusa membawakan beberapa lagu.
Dalam khotbahnya, sang pendeta mengatakan, "Bukan berarti kalau kita menyanyi lalu masuk surga. Bukan karena kita nyanyi lalu Tuhan senang. Nyanyian kita bisa menjadi bau busuk di hadapan Tuhan." Kata-kata tersebut sangat menusuk dan menyentak kesadaran Jonathan. Ia lalu menyatakan janji setianya terhadap Tuhan dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya.
Dari sini ia merasa perlu bersaksi pada banyak orang. Ia lalu gemar berkhotbah pada siapa saja bahkan pernah berkhotbah di pasar-pasar. Tentu saja sebagai orang yang baru bertobat ia belum punya banyak perbendaharaan ayat Kitab Suci. Ia hanya bermodalkan Yohanes 3:16. Dari sini teman-teman mulai suka.
Tiga tahun kemudian suami dari Ina Pattiasina ini masuk STT Tawangmangu. Di sini ia mulai mendapat dasar tentang khotbah yang sebenarnya. Secara akademis ia belajar homiletik dan retorika.
Seorang pengkhotbah, jelas pria yang gemar berpakaian hitam-hitam ini, harus menentukan fokus khotbahnya dan setia dengan fokus itu. Jika tidak, dia akan melebar ke mana-mana. Ibarat orang yang masuk ke sebuah gua, dia tahu jalan masuknya tapi tidak tahu jalan keluarnya. Dalam pengamatan Bang Jo, demikian sapaan akrabnya, keterbatasan pengalaman dan pengetahuan sangat bisa menjadi penghalang utama bagi seseorang dalam menyiapkan khotbah. "Kesulitannya, kalau hanya merupakan pengetahuan kepala dan bukan pengalaman sendiri, khotbahnya tampak mentah dan tanpa gairah," jelas Bang Jo lagi.
Tentang durasi sebuah khotbah, Bang Jo berpendapat paling normal hanya boleh memakan waktu 30-35 menit. Lebih dari itu orang sudah sulit menangkapnya.
Menyinggung soal frekuensi khotbahnya, Jonathan menjelaskan, ia membatasi diri dalam menerima permintaan berkhotbah. Hanya tiga kali pada hari Minggu meski cukup banyak permintaan. Sampai hari ini Ia merasa kemampuan berkhotbahnya merupakan karunia yang ia terima dari Tuhan dan perlu dikembangkan. Untuk itu ia rela duduk berjam-jam di depan komputer jika sedang mempersiapkan khotbah, meski ia bukan tipe pengkhotbah yang terikat pada teks. (Eman Dapa Loka)
Gilbert Lumoindong : "Saya Juga Nggak Pintar-pintar Amat Kok!"
Orang Kristen mana yang tidak mengenal sosok pengkhotbah yang satu ini? Dia selalu tampil rapi, serapi kalimat yang meluncur dari mulutnya saat berkhotbah. Gaya berkhotbah dan bahasa yang ia pakai selalu menarik dan mengena dengan hati dan situasi batin pendengarnya. Lantas, apa kiatnya sampai bisa seperti itu?
Yang pasti ia tidak mematok konsep yang muluk-muluk. Ia hanya berangkat dari pemahaman, berkhotbah bukan profesi. Kalau dipandang sebagai profesi jelasnya, maka apa yang dikatakan tidak akan berangkat dari pengalaman iman sang pengkhotbah. "Berkhotbah itu share pengalaman iman dalam keintiman dengan Tuhan lewat pengalaman hidup," ungkapnya. Baginya, dasar dari sebuah khotbah adalah kehidupan dari sang pengkhotbah.
Sebetulnya, ujar Gilbert menekankan lagi, kualitas khotbah itu ditentukan oleh pertama, hidup dari sang pengkotbah. Kedua, hubungannya dengan Tuhan. Dan ketiga, yang dikhotbahkannya adalah hati dari pengkhotbah itu. "Dengan khotbah itu seorang pengkhotbah sepertinya sedang berkata, ini lho pengalaman saya dengan Tuhan." Itulah sebabnya khotbah Gilbert tidak berwarna serius atau menegangkan.
Jadi, jika ia mau berkhotbah tentang kesetiaan misalnya, biasanya ia hanya bertanya pada dirinya sendiri tentang arti kesetiaan itu. Dari pertanyaan itu lalu lahirlah sebuah khotbah.
Kalau ada pengkhotbah yang merasa perlu memiliki waktu tersendiri untuk mempersiapkan khotbah, Gilbert sebaliknya. Alasannya, setiap hari ia selalu mempersiapkan dua belas khotbah yang berbeda-beda. "Nah rasanya kalau saya harus siapkan tersendiri lagi, ya nggak ada waktu. Yang ada adalah waktu PA pribadi saya dengan Tuhan," akunya. Jadi buat suami Reinda ini, sepanjang hidupnya adalah waktu untuk mempersiapkan khotbah. Dia juga merasa tidak perlu mencari peristiwa istimewa untuk dijadikan bahan khotbah. Misalnya saat bermain dengan anaknya, tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi, ia rekam itu sebagai bahan khotbahnya saat berkhotbah tentang bagaimana membangun hubungan dengan keluarga atau anak.
"Saya ini bukan orang yang pintar-pintar amat. Saya tidak akan pakai teori yang tinggi dalam berkhotbah. Karena apa yang saya katakan merupakan sharing pengalaman iman saja," ungkap pria yang mengaku sudah terbiasa berkhotbah sejak masih duduk di bangku SMA ini.
Ia juga mengaku terbiasa mengikuti KKR atau seminar sejak berumur 10 tahun. Dengan naluri remajanya, ia seringkali membuat penilaian, pendeta ini sombong rohani, suka menyerang pendeta lain dan seterusnya. Dia juga mengaku melihat "jarak" yang sangat jauh antara pendeta dan umat. "Kayaknya pendeta itu kudus banget, sedangkan umat berdosa sekali." Karena itu dalam khotbahnya, Gilbert jarang sekali menegaskan bahwa ia mendengar sesuatu dari Tuhan. Ia lebih banyak mengajak umat memahami bagaimana caranya mendengar suara Tuhan.
Hingga saat ini Gilbert mengaku masih berada dalam proses bersama umat lain menuju kesempurnaan Kristus. Dalam proses ini ia mengajak setiap orang untuk lebih mengutamakan nilai dalam hidup. Karena dengan nilai itulah setiap orang bisa berkhotbah. Khotbah yang dimaksud Gilbert adalah penularan nilai hidup, juga lewat kehidupan baik verbal maupun non verbal. (Eman Dapa Loka)
Pengki Andu : "Pendeta Pasang Tarif, Itu Kurang Ajar."
Kebaktian Minggu siang di Apotek Tomang, Jakarta Barat itu dimulai pukul 14.00 WIB dengan puji-pujian. Jemaat memuji dan menyembah dengan semangat bersama singers yang saat itu mengenakan seragam hitam. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 15.25 WIB pengkhotbah yang ditunggu baru tiba. Sebelumnya, beberapa kali petugas memberi informasi bahwa pembawa firman hari itu agak terlambat. "Sudah tidak tahu mau bilang apa lagi dengan kemacetan Jakarta ini," ungkap Pdt. Pengki Andu, pengkhotbah yang ditunggu-tunggu itu begitu naik di podium. Sejurus kemudian, tanpa berbasa-basi Pengki menyampaikan khotbahnya yang menukik langsung pada persoalan hidup keluarga. Mata seluruh umat benar-benar mengarah ke sang pengkhotbah. Pengki menyampaikan khotbahnya dengan luwes dan rileks. Sesekali umat mereaksinya dengan senyum dan tawa lepas.
Pengki tidak menggiring umat berpikir tentang yang rumit-rumit misalnya soal kuasa Roh Kudus atau konsep teologi yang hebat-hebat. Dan memang begitulah gaya pria kelahiran Blitar 6 September 1941 itu. "Saya selalu berkhotbah tentang alur kehidupan ini. Umat ini punya persoalan hidup beragam yang butuh penyelesaian konkret juga," ungkap pendeta yang mengaku kutu buku ini. Ia merasa, gaya khotbahnya disukai dan memberi solusi dan ispirasi bagi umat. "Anand Krisna atau reiki dibanjiri orang karena mereka memberi solusi secara tepat dan singkat. Kenapa kita para pendeta tidak bisa?" gugatnya. Menurutnya, umat membutuhkan arahan yang jelas dan praktis bagi persoalan hidup yang mereka hadapi. "Umat butuh yang konkret di tengah PHK, penggusuran, kesulitan di mana-mana. Mereka butuh pengayom, pelindung. Mampukah si hamba Tuhan memberikan jawaban terhadap aspek kehidupan yang bermacam-macam ini? Jangan kita memuaskan diri berkhotbah dengan bahasa Ibrani, Inggris. Berkhotbah tentang yang di awang-awang," sarannya. Atas dasar pemikiran itu, Pengki lebih banyak memfokuskan khotbahnya pada pengajaran soal ekonomi, rumah tangga, bisnis, etika tapi di bawah terang firman Tuhan.
Ia optimis dengan cara yang diterapkan ia mampu menjadi teman seperjalanan umat dalam menghadapi hidup ini dengan jiwa besar dan penuh optimisme. "Cerdaskan umat, sentuhlah umat dengan kesejukan, pencerahan pikiran, kesejukan batin, bisa berdamai dengan keadaan dan bersahabat dengan apa yang terjadi. Jangan menjadi spiritual emosional, jadilah spiritual yang intelektual."
Dengan gaya dan metode yang dipakai Pengki mengaku bisa "merebut" 60% pasar jemaat GBI REM dalam setiap khotbahnya sebanyak 7-8 kali setiap hari Minggu. "Ternyata umat ini mengejar soal alur kehidupan. Manusia sudah capek. Kalau masuk gereja jangan ditakutin lagi. Jangan dihakimi lagi," ujarnya dengan mimik serius.
Masih dengan mimik serius, ia juga menyatakan keprihatinan mendengar pendeta yang memasang tarif untuk "jasa" khotbahnya. "Pendeta pakai tarif, itu kurang ajar!" tegasnya. Ayah tiga anak ini sangat tidak sepakat dengan sistem tarif. Ia menilai sangat kasar dan ngampung. (Eman Dapa Loka)
Timotius Arifin: "Pengkhotbah Harus PHD."
Timotius Arifin dulunya dikenal sebagai "Bapa Pendiri" (founding father) Surabaya Praise Center. Menurut mantan kontraktor ini, selama 23 tahun pelayanannya, dia sudah berkhotbah sekitar 6.000 kali. Dalam setahun pemain gitar yang cukup handal ini bisa berkhotbah lebih dari 300 kali. Ada cerita menarik seputar awal pelayanannya. "Satu kali pada tahun 1981," ujarnya memulai kisahnya, "ada sebuah mimbar kecil di sebuah rumah retreat. Kami memang sedang mengadakan retreat di sana. Saya berdiri di situ dan teman-teman menertawakan saya. Apalagi saat saya berkata, 'Bagaimana kalau saya khotbah?' Mereka tertawa ngakak. Namun, suasana langsung berubah saat saya berkhotbah. Saat mereka tertawa secara mendadak seperti ada suatu jubah yang turun ke atas saya seperti yang tercatat di Lukas 24, saya menerima 'anointing from high' (urapan yang dari atas. Red.). Saya bicara dengan wibawa Tuhan. Teman-teman saya menangis. Mereka berguling-guling di lantai. Sejak itu saya tahu bahwa saya menerima 'anointing to preach'. Saya tahu itu bukan kemampuan saya," ujarnya dengan penuh ucapan syukur yang memancar dari matanya.
Bagaimana hamba Tuhan GBI Lembah Pujian, Denpasar, Bali ini mempersiapkan diri? "Saya tidak memberikan sermon (khotbah, red.), tetapi message (pesan), karena saya seorang motivator. Jadi, bukan khotbah yang sesungguhnya tetapi suara Tuhan. Karena itu, bisa saja saya mengubah pesan saat di atas mimbar. Saya ini cuma delivery boy (loper, red.). Pesan itu bisa menghibur, menguatkan, kadang menegur," jelas penggemar sayur ini.
"Karena itu, khotbah saya bisa terjadi saat Tuhan berbicara kepada saya malam sebelumnya. Bisa juga sebulan sebelumnya. Saya selalu mempersiapkannya dengan baik dengan catatan kecil. Itulah sebabnya saya selalu membawa PDA (Palm Digital Assistance, red.)," tambahnya. Saat BAHANA menginap di rumahnya, BAHANA diajak masuk ke ruang kerjanya dan melihat setumpuk catatan khotbahnya yang tersusun rapi.
Bagi gembala yang lebih menganggap dirinya rasul ini, khotbah yang baik haruslah "be yourself!" "Karena awal pelayanan saya adalah penginjil maka saya banyak membuat deklarasi seperti 'Yesus adalah Penyembuh, Yesus adalah Juru Selamat, Yesus adalah Gembala yang baik.' Untuk menyampaikan itu seringkali saya menggunakan cerita. Saya khotbah tekstual. Saya pun khotbah topikal. Namun, saya selalu memakai ilustrasi untuk khotbah agar jemaat lebih mudah mengingat pesan yang saya sampaikan," ujar suami Pdm. Fifi Sarah Yasaputra.
Khotbah yang baik, menurutnya, harus diiringi dengan karakter yang baik. "Matius 9:35 mengajar kita untuk menjadi pengajar, tetapi dalam I Timotius 3:2 dikatakan bahwa syarat pertama adalah pribadinya. Ukurannya bukan tepuk tangan dari pendengar, tetapi apakah Tuhan berkenan dengan apa yang kita sampaikan atau tidak!" ujarnya tegas.
Bagi penggemar makanan Bali ini, seorang pengkhotbah harus terus-menerus meng-up date dirinya dengan belajar. Bagi insinyur sipil lulusan ITS Surabaya ini, dia lebih suka menjadi pembawa berita ketimbang pengkhotbah. "Di dalam II Samuel 18:24-32, diceritakan tentang dua pelari yang membawa berita tentang kematian Absalom. Yang satu berlari cepat tetapi tidak ada berita yang dia bawa. Yang satunya larinya kurang cepat tapi dia membawa berita. Di dalam Matius 9 Yesus melalukan tiga hal, yaitu teach, mengajar di rumah ibadah; preach (memberitakan Injil Kerajaan Allah) dan prove (membuktikan kuasa Injil kerajaan Allah itu dengan menyembuhkan orang sakit, mengusir setan dan sebagainya. Jadi, seorang pengkhotbah harus PHD (Preaching, Healing, Deliverance)," ujarnya tegas.
Sebagai pembawa berita, Hamba Tuhan yang suka menilik jemaat dari satu kota ke kota lain ini juga mengharapkan para pengkhotbah untuk menjadi seorang spesialis, bukan generalis. "Saya sendiri mengkhususkan diri sebagai pengkhotbah spesialis untuk pemimpin," jelasnya.
Kepada pengkhotbah muda, dia memberi pesan ayat dari I Timotius 4:16: "Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau." Setuju! (Xavier/Yohanes)
Timotius Subekti: "Butuh Persiapan Tiga Atau Empat Jam"
Pdt. Ir. Timotius Subekti , pendiri sekaligus gembala sidang Gereja Bethel Tabernakel Kristus Alfa Omega di Semarang ini sudah melakukan pelayanan mimbar selama 34 tahun. Kini, ia mengaku berkhotbah rata-rata 20 kali setiap bulan atau sekitar 240 kali dalam setahun. Itu belum termasuk pelayanan mengajar di sekolah Alkitab.
Meskipun jadwal khotbah dan pelayanan lainnya yang cukup padat, ia selalu berusaha untuk mempersiapkan khotbah seminggu sebelumnya. Bila diminta untuk menyampaikan satu seri khotbah, ia biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk mempersiapkan diri. "Persiapan khotbah kadang bisa cepat, kadang butuh waktu lebih lama," ujarnya saat ditemui di rumahnya, "rata-rata persiapan khotbah memerlukan waktu tiga sampai empat jam."
Ketika ditanya apakah beliau merasa memiliki karunia berkhotbah, dengan panjang lebar pendeta yang menggembalakan ribuan orang ini menjawab, "Suatu karunia, termasuk karunia berkhotbah, hanya bisa berkembang baik jika penerima karunia selalu berusaha untuk mempraktekkannya sebaik mungkin. Seperti batita yang mulai belajar jalan, ia harus dilatih dan didorong untuk berjalan. Kalau tidak, ia tidak akan bisa berjalan, meskipun memiliki sepasang kaki yang sehat."
Lalu, bagaimanakah seharusnya khotbah yang baik itu? Menurut suami dari Susana Hilda Riyanti yang pernah menjadi korban pemboman di Semarang tahun 2001 ini, khotbah yang baik terutama harus jelas sehingga mampu dimengerti oleh pendengar yang paling sederhana sekalipun. "Biasanya seorang pengkhotbah harus menguraikan serinci mungkin isi khotbahnya. Ini seperti orang mengupas sesuatu untuk dimakan oleh orang lain. Banyak pengkhotbah, belum selesai menerangkan satu ayat, sudah mengutip lagi ayat lain. Jadi, tidak dikupas." Dengan kata lain, "khotbah yang baik adalah khotbah yang dieksposisi. Menurutnya, selama ini yang dilakukan cukup simple. Ia selalu meneliti kata-kata yang diulang dalam satu perikop. Kemudian, ia mencari kata lain yang ada relasinya. "Ini memang menuntut kecermatan dan perenungan lebih dalam dari seorang pengkhotbah. Selain itu, dia harus senantiasa menempatkan roh kudus sebagai sang pemberi hikmat dan kuasa," ujar ayah dari Ferra Subekti yang menjadi korban bom bersama ibunya itu.
Pendeta yang ramah ini, juga menuturkan pandangannya mengenai karakter hamba Tuhan yang baik, "Pertama, seorang hamba Tuhan harus rendah hati dan lemah lembut supaya dia bisa membimbing orang lain, seperti tertulis dalam surat Timotius. Kedua, ia juga harus tulus dan benar motivasi pelayanannya."
Bagi seorang pengkhotbah, apa yang ia khotbahkan harus merupakan ukuran atas hidupnya sendiri, agar ia sendiri tidak ditolak oleh Tuhan. "Itulah yang ditulis Paulus dalam I Timotius 4:16. Untuk menjaga dirinya, seorang hamba Tuhan harus terbuka di hadapan Tuhan. Ia harus peka terhadap koreksi dan teguran Tuhan. Itu menentukan bagaimana ia bisa menjaga dirinya dari dosa. Itulah sebabnya seorang hamba Tuhan harus tekun berdoa. Di dalam doa, ia membuka dirinya kepada Tuhan. Implikasinya, pelayanan seorang hamba Tuhan haruslah merupakan buah dari hubungan pribadinya dengan Tuhan. Orang yang dekat dengan Tuhan akan tahu apa yang Tuhan inginkan. Nah, kehendak Tuhan itulah yang harus disampaikan kepada jemaat melalui khotbah.
Terakhir, Pdt. Timotius berbagi saran, "Ketika kita berkhotbah, mari kita berkhotbah dalam Kristus. Artinya, kita harus benar dahulu sebelum berkhotbah kepada orang lain. Kita harus bertanggung jawab atas perkataan kita." (Men Yon/Lukas)
Sumber : 10 Pengkhotbah Yang Paling Dicari (Bahana 2004)