Friday, July 29, 2011

The Cross

Controversy Of The Cross (1 Corinthians 1:17-25

The message of the cross is . . . the power of God. —1 Corinthians 1:18

A case before the US Supreme Court focused on whether a religious symbol, specifically a cross, should be allowed on public land. Mark Sherman, writing for the Associated Press, said that although the cross in question was erected in 1934 as a memorial to soldiers who died in World War I, one veteran’s group that opposed it called the cross “a powerful Christian symbol” and “not a symbol of any other religion.”

The cross has always been controversial. In the first century, the apostle Paul said that Christ had sent him “to preach the gospel, not with wisdom of words, lest the cross of Christ should be made of no effect. For the message of the cross is foolishness to those who are perishing, but to us who are being saved it is the power of God” (1 Cor. 1:17-18). As followers of Christ, we see the cross as more than a powerful Christian symbol. It is the evidence of God’s power to free us from the tyranny of our sin.

In a diverse and pluralistic society, the controversy over religious symbols will continue. Whether a cross can be displayed on public property will likely be determined by the courts. But displaying the power of the cross through our lives will be decided in our hearts. —David McCasland

Christ takes each sin, each pain, each loss,
And by the power of His cross
Transforms our brokenness and shame
So that our lives exalt His name. —D. De Haan

Nothing speaks more clearly of God’s love than the cross.

Source : Our Daily Bread

Wednesday, July 27, 2011

Broken Relationships

Broken Relationships (Philippians 4:2-7)

Let nothing be done through selfish ambition or conceit. —Philippians 2:3

I watched from my balcony as a 20-story apartment building was demolished. The demolition took barely a week to complete. In its place a new building is being constructed. It’s been months now, and despite construction activities going on nights and weekends, it is still incomplete. How much easier it is to tear down than to build up!

What is true for demolition and construction of buildings is also true for personal relationships. In Philippians 4:2, Paul wrote to two women in the church, saying, “I implore Euodia and I implore Syntyche to be of the same mind in the Lord.” The quarrel between these two women threatened to tear down the witness of the Philippian church if left unresolved. So Paul urged a “true companion” (v.3) to help rebuild that relationship.

Sadly, Christians do quarrel, but we should seek to “live peaceably” with all (Rom. 12:18). Unless our conflicts are resolved, the Christian witness so painstakingly built up can be destroyed. It takes much effort and time to reconcile broken relationships. But it is worth it. Like a new building rising from the ruins, reconciled believers can emerge stronger.

May we seek to build each other up through our words and actions today! —C. P. Hia

We have a common enemy
Who wants to scar the life
Of Jesus’ precious bride, the church,
Through worldliness and strife. —Sper

Two Christians are better than one— when they’re one.

Source : Our Daily Bread

Friend

He Calls Me Friend (John 15:9-17)

All things that I heard from My Father I have made known to you . . . that you should go and bear fruit. —John 15:15-16

Someone has defined friendship as “knowing the heart of another and sharing one’s heart with another.” We share our hearts with those we trust, and trust those who care about us. We confide in our friends because we have confidence that they will use the information to help us, not harm us. They in turn confide in us for the same reason.

We often refer to Jesus as our friend because we know that He wants what is best for us. We confide in Him because we trust Him. But have you ever considered that Jesus confides in His people?

Jesus began calling His disciples friends rather than servants because He had entrusted them with everything He had heard from His Father (John 15:15). Jesus trusted the disciples to use the information for the good of His Father’s kingdom.

Although we know that Jesus is our friend, can we say that we are His friends? Do we listen to Him? Or do we only want Him to listen to us? Do we want to know what’s on His heart? Or do we only want to tell Him what’s on ours? To be a friend of Jesus, we need to listen to what He wants us to know and then use the information to bring others into friendship with Him. —Julie Ackerman Link

Sweet thought! We have a Friend above,
Our weary, faltering steps to guide,
Who follows with His eye of love
The precious child for whom He died. —Anon.

Christ’s friendship calls for our faithfulness.

Source : Our Daily Bread

Tuesday, July 26, 2011

Bahagia

Bahagia Menurut Firman Tuhan
Dirangkum oleh : Deny S Pamudji

Seseorang dikatakan bahagia jika : percaya pada Tuhan (Amsal 16:20), ditegur Allah (Ayub 5:17), hidup tidak di jalan orang fasik (Mazmur 1:1), diampuni kesalahannya (Mazmur 32:2), berlindung pada Allah (Mazmur 34:8), mengasihi yang lemah dan memberi (Kisah 20:35), mendapat hikmat (Amsal 3:13), menantikan Tuhan (Yesaya 30:18), mendengar firman dan memeliharanya (Lukas 11:28), dijamu kerajaan Allah (Lukas 14:15), tidak melihat tetapi percaya (Yohanes 20:29), tidak menghukum diri dalam apa yang dianggap baik untuk dilakukan (Roma 14:22), tahan dalam pencobaan dan tahan uji (Yakobus 1:12), membacakan dan menuruti nubuat (Wahyu 1:3, 22:7), dan mati dalam Tuhan (Wahyu 14:13)

Secara khusus Yesus berkata bahagia ialah jika kita miskin (Matius 5:3), berduka cita (Matius 5:4), lemah lembut (Matius 5:5), lapar dan haus (Matius 5:6), murah hati (Matius 5:7), suci hati (Matius 5:8), membawa damai (Matius 5:9), dicela dan dianiaya karena Yesus (Matius 5:10,11), tidak kecewa dan meninggalkan Dia (Matius 11:6)

Sumber : Alkitab – LAI

Tuesday, July 19, 2011

Minta Berkat

Apakah Anda Pernah Memintanya?
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Yabes berseru kepada Allah Israel, katanya: "Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!" Dan Allah mengabulkan permintaannya itu. (2 Tawarikh 4:10)

Ada seorang pria di Alkitab bernama Yabes yang arti namanya adalah: "kesulitan, kesedihan, dan sakit hati." Kita tidak tahu banyak tentang Yabes, namun berdasarkan namanya, saya bisa membayangkan dia telah melalui banyak kekecewaan. Hidup mungkin tidak berjalan dengan cara yang ia harapkan. Tapi bukannya duduk dan mengasihani diri sendiri, Yabes percaya bahwa Allah memiliki sesuatu yang besar untuk diberikan kepadanya. Terlepas dari berbagai kondisi yang melawan dia, Yabes tahu bahwa satu sentuhan perkenanan Tuhan bisa mengubah semua situasi yang ada disekitarnya. Hal yang membuat Yabes menonjol dalam kitab suci adalah bahwa ia cukup berani untuk meminta Tuhan melakukan sesuatu yang besar baginya. Dia berkata,"Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!" Dia mengatakan pada dasarnya seperti ini: Aku telah melalui banyak kekecewaan. Aku sudah merasakan banyak sakit dan nyeri. Tapi Tuhan, aku tidak akan terjebak di sini. Aku mengharapkan bantuan-Mu. Aku mengharapkan Engkau untuk memutar keadaan yang ada dan memberkati aku. Dalam Alkitab terjemahan King James Version dituliskan : “Oh that thou wouldest bless me indeed, and enlarge my coast.” (2 Tawarikh 4:10) Kata "indeed" berarti "dengan cara yang besar." Alkitab hanya mengatakan tentang jawaban Tuhan dengan kalimat, "Dan Allah mengabulkan permintaannya itu."

Pertanyaan saya hari ini adalah: apakah Anda pernah meminta Tuhan untuk memperbesar wilayah Anda? Pernahkah Anda berkata, "Tuhan, berkatilah saya. Tuhan, lakukan sesuatu yang besar dalam hidup saya?" Teman, kita tidak pernah menerimanya karena kita tidak pernah meminta. Ketika Anda meregangkan iman Anda, ketika Anda memperbesar visi Anda, meningkatkan dan memperluas pengaruh Anda, itulah yang membuka pintu bagi Allah untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan.

Kadang-kadang kita punya pandangan yang terbatas tentang Allah. Kita bertindak seperti kita menyusahkan Tuhan ketika percaya hal-hal yang besar. Jadi kita akhirnya berdoa dengan doa-doa kecil. "Tuhan, jika Engkau memberikan kenaikan sedikit, mungkin aku bisa mendapatkan tempat yang lebih baik untuk hidup." "Tuhan, jika Engkau mengirimkan beberapa pelanggan, mungkin aku bisa memenuhi kebutuhanku bulan ini." "Tuhan, jika Engkau memberikan sedikit bantuan, mungkin pernikahan saya akan bertahan." Tidak, Anda terlalu memandang rendah diri sendiri. Tuhan kita adalah Tuhan yang berkuasa. Ia memiliki sumber daya tak terbatas! Anda tidak berjalan dalam rencana Allah dengan menahan diri dan berpikiran kecil. Jika Anda ingin membuat Allah senang, maka milikilah iman yang besar, berharaplah yang besar dan mintalah yang besar!

Anda dapat meningkatkan visi Anda hari ini dengan mengatakan, "Bapa, terima kasih untuk melakukan sesuatu yang besar dalam hidup saya. Terima kasih untuk kesempatan besar, ide-ide besar dan terobosan besar.. Tuhan, bantu saya untuk menjadi berkat yang besar untuk orang lain." Ketika Anda mulai berpikir seperti Allah, berpikir besar dan luas, Anda akan melihat pengaruh Anda dan kesempatan Anda meningkat. Anda akan melihat tangan perkenanan-Nya menyertai Anda, dan Anda akan bergerak maju ke kehidupan yang melimpah yang telah Ia sediakan bagi Anda.

Writer : Joel Osteen

Sumber : Renungan Harian

Kebahagiaan

SEKOLAH PADANG GURUN (Keluaran 2:10-15; 3:1-4)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

... anggaplah sebagai kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan (Yakobus 1:2,3)

Eric Wilson, seorang dosen, ingin hidup lebih bahagia. Berbagai cara dicobanya. Ia membaca berbagai buku, mencoba banyak tersenyum, mengucapkan kata-kata positif, dan menonton film komedi. Semuanya tidak menolong. Akhirnya, ia mengarang buku berjudul Against Happiness (Melawan Kebahagiaan). Menurutnya, kebahagiaan tidak bisa dikejar atau dibuat. Ia akan muncul sendiri setelah kita berhasil menghadapi persoalan sulit, ketidakpuasan, bahkan penderitaan. Jadi, jalan untuk mencapai kebahagiaan ialah harus melalui kesulitan!

Musa menghabiskan masa mudanya di istana Firaun. Hidupnya nyaman, tetapi tidak bahagia. Suatu saat, datanglah jalan yang sulit. Setelah membunuh seorang Mesir, Musa ketakutan lalu melarikan diri ke padang gurun. Hidupnya berubah drastis. Dulu serbaada, kini serba tidak punya. Anak raja Mesir itu kini hanyalah seorang pendatang di gurun Midian. Namun, di padang gurun itu justru Musa belajar banyak tentang kesendirian; tentang kerasnya kehidupan gurun; tentang susahnya menghadapi orang sulit. Tanpa sadar, Tuhan menempatkan dan menempanya di sekolah padang gurun itu untuk mempersiapkannya menjadi pemimpin umat. Musa akhirnya berjumpa Tuhan dan menemukan kebahagiaan ketika menjalani panggilannya.

Kebahagiaan muncul ketika kita berjuang, lalu berhasil. Oleh sebab itu, jangan menggerutu jika Anda sedang ditempa oleh Tuhan dengan melewati "sekolah padang gurun". Berjuanglah. Syukurilah tiap pengalaman hidup yang sulit. Belajarlah sesuatu dari sana dengan terus meyakini bahwa setelah "lulus" nanti, kebahagiaan menanti!--JTI

TANPA PERJUANGAN, TIDAK ADA KEBAHAGIAAN

Sumber : Renungan Harian

Monday, July 18, 2011

Roh Sekilas Pandang

Sekilas Pandang Tentang Roh
Dirangkum oleh : Deny S Pamudji

Bahasa Roh
Seseorang yang berbahasa roh dapat menyampaikan nubuat (Kisah Rasul 19:16) dan agar bahasa roh bisa berguna maka perlu ada yang bisa menafsirkan (1 Korintus 12:10) karena jika tidak bahasa roh hanya membangun diri yang berbahasa roh tersebut (1 Korintus 14:4).  Bahasa roh akan berhenti suatu saat (1 Korintus 13:8).  Bahasa roh membantu kita dalam berdoa (1 Korintus 14:14) dan bahasa roh merupakan tanda yang diberikan untuk orang yang tidak beriman (1 Korintus 14:22 bandingkan dengan pentakosta pertama kali)

Hidup Yang Dipimpin Roh
Jika kita hidup dipimpin roh maka kita tidak akan gila hormat, tidak bertentangan dengan yang lain dan tidak akan dengki.  (Galatia 5:25-26)

Keinginan Roh
Keinginan roh ialah hidup dan damai sejahtera (Roma 8:6) dan keinginan roh bertentangan dengan keinginan daging (Galatia 5:17)

Roh Allah
Merupakan bukti bahwa kita anak Alah (Roma 8:14) dan roh ini mengetahui rancangan Allah (1 Korintus 2:11).  Roh Allah diam dalam kita (1 Korintus 3:16).  Roh Allah juga disebut roh kemuliaan (1 Petrus 4:14).  Roh Allah mengakui Yesus sebagai manusia (1 Yohanes 4:2) dan juga mengakui Yesus Tuhan (1 Korintus 12:3).  Roh Allah memberi kuasa untuk mengusir setan (Matius 12:28)

Roh Anti Kristus
Roh anti Kristus adalah roh yang tidak mengakui bahwa Yesus datang dari Allah (1 Yohanes 4:3)

Roh Dunia
Roh yang menguasai manusia pada umumnya (Galitia 4:3).  Roh ini lemah, miskin dan minta disembah (Galatia 4:9).  Roh dunia mengajarkan filsafat kosong dan membuat ajaran tradisi (Kolose 2:8).  Kita bebas dari pengaruh roh dunia apabila kita bersama Kristus (Kolose 2:20)

Roh Dusta
Roh yang bekerja dalam nabi palsu (1 Raja 22:22-23, 2 Tawarikh 18:21-22)

Roh Hikmat
Seseorang dikatakan memiliki roh hikmat jika dia takut akan Tuhan (Yesaya 11:2-3)

Roh Jahat
Roh jahat meminta korban persembahan (Ulangan 32:17).  Roh ini mengganggu pribadi demi pribadi (1 Samuel 16:14-15).  Roh jahat merasuk (Markus 1:23,26), menyebabkan penyakit (Lukas 8:2) dan memberi kekuatan paranormal (Lukas 8:29).  Roh ini menguasai pemerintah, penguasa, penghulu dunia, dan udara (Efesus 6:12) dan juga menguasai daerah tertentu (Wahyu 18:2)

Sunday, July 17, 2011

Because He Is

Because (Job 2)

Shall we indeed accept good from God, and shall we not accept adversity? —Job 2:10

One day, my toddler exclaimed, “I love you, Mom!” I was curious about what makes a 3-year-old tick, so I asked him why he loved me. He answered, “Because you play cars with me.” When I asked if there was any other reason, he said, “Nope. That’s it.” My toddler’s response made me smile. But it also made me think about the way I relate to God. Do I love and trust Him just because of what He does for me? What about when the blessings disappear?

Job had to answer these questions when catastrophes claimed his children and demolished his entire estate. His wife advised him: “Curse God and die!” (2:9). Instead, Job asked, “Shall we indeed accept good from God, and shall we not accept adversity?” (v.10). Yes, Job struggled after his tragedy—he became angry with his friends and questioned the Almighty. Still, he vowed, “Though He slay me, yet will I trust Him” (13:15).

Job’s affection for his heavenly Father didn’t depend on a tidy solution to his problems. Rather, he loved and trusted God because of all that He is. Job said, “God is wise in heart and mighty in strength” (9:4).

Our love for God must not be based solely on His blessings but because of who He is. —Jennifer Benson Schuldt

Shall we accept the good from God
But fuss when trials are in sight?
Not if our love is focused on
The One who always does what’s right. —Sper

Focusing on the character of God helps us to take our eyes off our circumstances.

Source : Our Daily Bread

Sok Tahu

SOK TAHU (Zakharia 4:1-14)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Maka berbicaralah malaikat yang berbicara dengan aku itu, katanya kepadaku: "Tidakkah engkau tahu, apa arti semuanya ini?" Jawabku: "Tidak, tuanku!" (Zakharia 4:5)

Seorang anak kecil sedang menyusun puzzle bergambar seekor gajah. Tubuhnya sudah tersusun. Tinggal ekor dan belalainya. Di tangannya ada sekeping gambar sesuatu yang berbentuk memanjang. Si anak langsung meletakkan keping tersebut ke bagian ekor. Sayangnya, bagaimanapun ia mencoba, keping itu tidak bisa masuk. Sang ayah berusaha memberi tahu bahwa itu bukan ekor, melainkan belalai. Namun, si anak membantah: ekorlah yang panjang. Jadi, teruslah ia mencoba-coba meletakkan keping gambar belalai itu ke ekor si gajah.

Itulah yang terjadi kalau kita bersikap sok tahu. Dan, kadang kala itu malah menjadi tindakan bodoh dalam pandangan orang lain. Lebih baik apabila kita meneladani apa yang dilakukan Zakharia. Ia mendapat penglihatan ilahi, tetapi tidak mengerti maknanya. Maka, dengan polos ia menanyakan maknanya kepada malaikat. Menarik bahwa malaikat tidak langsung menjawabnya. Malah memberikan pertanyaan seolah-olah malaikat itu berharap Zakharia seharusnya sudah tahu. Sangat manusiawi kalau saat itu Zakharia merasa harga dirinya tersinggung sehingga berhenti bertanya atau bahkan bersikap sok tahu. Namun, Zakharia tidak melakukan itu. Ia tidak berusaha menebak-nebak, apalagi berpura-pura tahu. Melainkan dengan rendah hati ia mengakui ketidaktahuannya. Ini dilakukannya sampai dua kali (ayat 4, 11, 12).

Tidak bersikap sok tahu menegaskan karakter yang rendah hati dan mau belajar. Agar berhasil dalam berbagai aspek kehidupan, inilah sebenarnya yang terus kita perlukan. Lebih jauh lagi, Tuhan menghargai sikap yang seperti ini --ALS

ORANG YANG MAU MAJU TAK HENTI BERTANYA SEBAB ITU PASTI MENAMBAH PENGERTIAN YANG SUDAH IA PUNYA

Sumber : Renungan Harian

Dia Tahu

JIKA TUAN MAU (Lukas 5:12-16)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djium

"Aku mau, jadilah engkau tahir" (Lukas 5:13)

Penderita kusta pada zaman Yesus sungguh menderita. Ia dikucilkan, juga wajib selalu membawa bel kecil yang ia bunyikan sambil berteriak, "Najis, najis!" agar orang yang berjumpa dengannya jangan sampai menyentuhnya. Jangankan bersentuhan, mengenai bayangannya saja membuat orang lain najis dan harus mentahirkan diri. Sungguh menyedihkan ketika si kusta harus meneriakkan kepada orang lain bahwa dirinya najis hingga orang lain patut menjauhinya. Lebih menyakitkan lagi, jika ia tahu ada sumber pertolongan, tetapi ia tidak diperbolehkan datang dan meminta kesembuhan.

Akan tetapi, si kusta yang satu ini berbeda. Ia nekat menerobos masuk ke kota tempat Yesus berada, karena ia yakin Yesus satu-satunya Pribadi yang mampu mengubah hidupnya. Dengan penuh harap, ia memohon belas kasihan Yesus: "Tuan, jika tuan mau, tuan dapat mentahirkan aku". Ia yakin Yesus mampu, tetapi ia sadar tidak punya hak apa pun untuk memaksa Yesus memedulikannya, kecuali Dia mau. Ternyata Yesus memang mau. Bahkan, Yesus melakukannya dengan menyentuh tubuh si kusta yang dianggap najis itu.

Anda dan saya sebagai orang berdosa tak lebih dari si kusta yang membutuhkan belas kasihan Allah. Namun, kerap kali kita tidak menanti kemauan Allah terjadi atas hidup kita, tetapi menyodorkan banyak kemauan kita untuk Dia restui. Memaksakan kehendak kita agar menjadi kehendak-Nya. Mari belajar meletakkan diri kita secara benar di hadapan Allah. Kita boleh membawa setiap kebutuhan kita kepada-Nya, tetapi biarlah kehendak-Nya yang jadi atas hidup kita--SST

SERAHKAN KEPADA TUHAN APA YANG KITA INGINKAN DIA JAUH LEBIH TAHU APA YANG KITA PERLUKAN

Sumber : Renungan Harian

Latihan Ganda

LATIHAN GANDA (1 Timotius 4:6-10)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Latihan jasmani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang (1 Timotius 4:8)

Untuk menurunkan berat badan dan menjaga kebugaran, orang biasanya memadukan dua latihan. Latihan pasif: menahan diri dengan mengikuti pola makan tertentu. Latihan aktif: berolahraga untuk membakar kalori dan lemak yang berlebihan.

Begitu juga dengan ibadah atau disiplin rohani. Ada yang aktif, yaitu disiplin keterlibatan, sesuatu yang kita lakukan; dan ada yang pasif, yaitu disiplin berpantang, sesuatu yang kita hindari. Ini berkaitan dengan jenis dosa yang kita hadapi. Ada dosa pelanggaran, yaitu secara aktif melanggar perintah Tuhan (1 Yohanes 3:4). Ada dosa pengabaian, yaitu secara pasif melalaikan perbuatan baik yang semestinya kita lakukan (Yakobus 4:17).

Bagaimana disiplin rohani itu dapat bermanfaat bagi kita? Secara umum, menurut John Ortberg, ketika kita bergumul dengan suatu dosa pengabaian, kita akan tertolong melalui disiplin keterlibatan. Sebaliknya, ketika kita bergumul dengan suatu dosa perbuatan, kita akan tertolong melalui disiplin berpantang. Sebagai contoh, jika kita cenderung murung, kita akan tertolong dengan berlatih merayakan kehidupan ini. Apabila kita bergumul melawan keserakahan, kita akan tertolong dengan berlatih memberi. Sebaliknya, jika kita rentan bergosip, kita akan tertolong dengan berlatih menutup mulut. Apabila kita suka melebih-lebihkan sesuatu, kita akan tertolong dengan berlatih berbicara secara jujur.

Disiplin rohani tidak lain ialah sarana untuk mencapai tujuan. Tujuannya: kehidupan rohani yang sehat sehingga kita menjadi bugar; baik dalam hidup yang sekarang maupun dalam hidup yang akan datang --ARS

JANGAN MENCOBA MELAWAN KEGELAPAN TANPA MENYALAKAN TERANG

Sumber : Renungan Harian

Berani Berkata Tidak

BERANI BERKATA TIDAK (Markus 1:35-39)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Jawab-Nya, "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota sekitar ini, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang" (Markus 1:38)

Sugeng sedang merintis karier sebagai penerjemah. Ia menerima tawaran untuk menerjemahkan buku spiritualisme populer dari sebuah penerbit besar. Ketika menerjemahkan sampelnya, ia sudah merasa kurang nyaman. Namun, ia merasa tawaran itu bisa menjadi batu loncatan bagi kariernya. Ia menerimanya. Akibatnya, selama menerjemahkan ia merasa tersiksa. Dari segi bahasa, buku itu relatif mudah dialihbahasakan. Masalahnya, dari segi isi, buku itu memaparkan pandangan berdasarkan berbagai filsafat dan kepercayaan yang tidak selalu selaras dengan Kitab Suci.. Setelah menyelesaikan-nya, ia memetik pelajaran berharga: Seharusnya ia berani untuk berkata tidak.

Bukan hanya tawaran yang meresahkan, tawaran yang baik pun tidak mesti selalu kita iyakan. Perhatikan saja jejak pelayanan Yesus. Saat itu pelayanan-Nya sudah menjadi buah bibir masyarakat; orang banyak mencari-Nya; permintaan pelayanan meningkat tajam. Hari itu, misalnya, pagi-pagi para murid sudah kebingungan mencari Dia yang sedang berwaktu teduh di tempat yang sunyi. "Semua orang mencari Engkau, " kata mereka. Apakah Yesus memenuhi permintaan itu? Kali ini Dia menggelengkan kepala. Dia memilih pergi ke kota-kota di dekat situ.. Mengapa? "Karena untuk itu Aku datang." Yesus berkata tidak, agar Dia dapat mengerjakan perkara yang Dia prioritaskan.

Tubuh kita hanya satu. Waktu kita terbatas. Tidak mungkin kita meluluskan setiap permintaan. Berarti, kita perlu menimbang dan memilih secara bijaksana. Menolak tawaran negatif sudah pasti. Namun, tak jarang kita juga mesti menyisihkan yang baik, agar dapat mengejar yang terbaik --ARS

BERKATA 'TIDAK' KADANG KALA TERASA BERAT NAMUN SELALU BERKATA 'YA' BISA MENDATANGKAN JERAT

Sumber : Renungan Harian

Monday, July 04, 2011

Ketaatan

DUA RESPONS (Matius 21:28-32)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

"Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka: "Yang terakhir" (Matius 21:31)

Yesus bercerita tentang seorang bapa yang mempunyai dua anak. Ketika sang bapa menyuruh dua anaknya bekerja di kebun anggur, ada dua respons yang berbeda. Anak yang pertama mengiyakan, tetapi setelah berlalu dari hadapan sang bapa, ia tak jadi melakukannya (ayat 29). Yang kedua menolak, tetapi setelah pergi, ia pun menyesal dan kemudian melakukan perintah bapanya itu (ayat 30). Di akhir perumpamaan, Yesus membawa para imam kepala dan tua-tua Yahudi untuk menyimpulkan bahwa yang lebih berharga adalah anak yang taat melakukan perintah bapanya. Secara mengejutkan, Yesus berkata, "... sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah" (ayat 31).

Apakah maksud Tuhan? Pertama, Tuhan tidak terpesona pada janji di mulut. Dia lebih menanti bukti ketaatan. Tuhan tidak mau kita berjanji manis ketika menaikkan banyak pujian dan doa dalam ibadah, tetapi setelah itu kita lupa melakukan apa yang kita janjikan.

Kedua, Tuhan tidak mau kita menghakimi orang lain yang kita anggap "sedang lemah secara rohani" orang-orang yang sedang menjalani hidup yang tak berkenan kepada Tuhan. Lalu berpikir bahwa mereka pasti akan "tertinggal" di belakang. Jangan salah. Tuhan dapat memakai segala cara untuk menjangkau mereka. Dan, jika mereka bertobat dan mau taat, mereka bahkan bisa "mendahului" kita. Maka, daripada kita menghakimi dan kemudian justru tertinggal, mari menjadi pribadi yang dipakai Tuhan untuk menjangkau saudara-saudara yang belum bertobat. Ingatlah, Tuhan lebih mencari hati yang taat --AW

TUHAN TIDAK MENCARI MULUT YANG BERJANJI DIA MENCARI HATI YANG MAU TAAT MENGABDI

Sumber : Renungan Harian

Hati Memberi

TAK AKAN BERKEKURANGAN (1 Raja-raja 17:8-16)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan ... (Amsal 28:27)

Sekitar tahun 1964, perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Meski demikian, sepasang suami istri masih mengulurkan tangan untuk menolong orang yang lebih tak berpunya. Di rumah kontrakan mereka yang sangat sederhana, mereka masih menampung sebuah keluarga untuk sama-sama tinggal di situ. Sampai-sampai, mereka sendiri harus tidur berdesakan dengan sepuluh anak mereka dalam sebuah kamar. Namun, Tuhan memelihara mereka. Dan kini, setelah berpuluh tahun kemudian, anak-anak mereka memiliki kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik.

Pada zaman Elia, Tuhan bertitah tidak akan menurunkan hujan ke tanah Israel selama 3 tahun 6 bulan. Air di sungai pun menjadi kering. Tak heran, si janda Sarfat hanya memiliki sedikit tepung dan minyak untuk ia dan anaknya. Namun, karena ketaatannya kepada Tuhan dengan memberikan makanan bagi Elia, sang nabi, Tuhan memelihara hidup sang janda dan anaknya selama masa kekeringan.

Kita terkadang berpikir bahwa kita mesti menjadi kaya lebih dulu untuk dapat menolong orang lain. Namun, banyak orang sulit merasa dirinya cukup sehingga ia dapat menolong orang lain, sebab pada dasarnya manusia selalu merasa tidak puas dan berkekurangan. Sebaliknya, hati yang mau memberi dan menolong orang lain sesungguhnya tidak pernah bergantung dari berapa banyak yang dimiliki. Sebab tindakan ini lahir dari hati yang mau taat dan mengasihi Tuhan. Dan jangan khawatir, Tuhan akan memelihara orang-orang yang mengasihi Tuhan sedemikian dalam sehingga kita tak akan berkekurangan --VT

MEMBERI BUKAN HANYA KARENA KITA SUDAH BERLEBIH NAMUN KARENA KASIH TUHAN SELALU HARUS DIBAGI

Sumber : Renungan Harian

Timbal Balik

MENAKAR DAN MENGUKUR (Lukas 6:37-38)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

... ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu ... (Lukas 6:38)

Seorang tua sedang merenung. "Dulu saya lahir dari keluarga miskin. Ketika melihat orang kaya, saya bertanya-tanya mengapa mereka egois, tidak mau menolong orang miskin memperbaiki masa depan, bahkan tak jarang malah memandang rendah? Namun, ketika kemudian saya menjadi kaya setelah bekerja keras, saya merasa orang miskin itu malas, tak mau berinisiatif, maunya ditolong, iri, dan tak pernah berterima kasih?" Pak tua itu menggeleng-geleng menyadari kontradiksi di hati dan perasaannya. Mengapa begini?

Tak jarang dalam hidup ini, kita memiliki standar ganda dalam "menakar dan mengukur". Kita kerap menilai orang lain dari "takaran" atau pandangan subjektif kita, dan tak mampu memahami orang lain dari sudut pandang orang itu. Kita kerap menuntut orang lain bersikap dan berbuat seperti yang kita mau, padahal kita sendiri belum tentu melakukan yang sebaliknya. Ketika berbuat salah, kita tak ingin dihakimi. Sebaliknya, ingin dimaafkan dan dibantu keluar dari kesalahan. Ketika membeli, kita menginginkan barang yang berkualitas dengan harga bagus, dan akan sangat marah jika dibohongi. Ketika susah, kita ingin orang lain menolong.

Apabila kita rindu tidak dihakimi, biarlah kita jangan menghakimi. Apabila kita rindu dimaafkan ketika bersalah, biarlah kita jangan menghukum, tetapi mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Sebab ukuran yang kita pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepada kita. Perhatikan ayat 38 "berilah": pengampunan, maaf, kesabaran, kebaikan, pengertian, dukungan, kekuatan, kesempatan, pertolongan. "... dan kamu akan diberi, " demikian sabda Kristus. Mau bukti? Coba terapkan janji Tuhan ini --SST

JALANI HIDUP SEBAGAIMANA KITA HARAP ORANG LAIN JALANI MAKA ITU PULALAH YANG AKAN KITA DAPATI

Sumber : Renungan Harian

Tuhan Tahu

TUHAN SUDAH TAHU (Matius 4:1-11)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu! (Matius 4:7)

Seorang pembuat boneka kayu yang terkenal membuat boneka kayu yang sangat bagus untuk anak perempuannya. Suatu saat, boneka itu terjatuh hingga beberapa bagiannya terlepas. Sambil menangis, si anak membawa boneka itu kepada ayahnya. "Tinggalkan saja bonekamu. Ayah akan memperbaiki setiap bagian satu per satu." Namun, anaknya tidak sabar, "Tidak, Ayah. Itu terlalu lama. Ayah hanya perlu menaruh lem di sini, memaku bagian ini, dan menyambung yang ini". Si pembuat boneka meminta anaknya bersabar dan memercayakan boneka rusak itu kepadanya. Sayang, si anak keras kepala dan pergi membawa boneka rusaknya.

Dalam kisah pencobaan di padang gurun, Iblis berusaha mencobai Yesus dengan membawa-Nya ke beberapa tempat dan memberitahukan apa yang harus dilakukan Yesus. Semua yang diberitahukan Iblis memang tampak masuk akal, tetapi di balik itu semua Iblis ingin Yesus menyembahnya. Namun, Yesus adalah Tuhan. Dia tidak perlu diberi tahu apa yang harus Dia lakukan dan apa yang tidak. Sebab, Dia jauh lebih tahu alasan di balik setiap permintaan kita. Dia tahu kapan dan bagaimana seharusnya menjawab setiap permintaan.

Mungkin kita kerap berlaku seperti anak perempuan si pembuat boneka. Kita mendikte Tuhan, apa yang harus Tuhan lakukan untuk mengatasi masalah kita. Kita tidak mau memercayakan masalah kita pada cara-Nya. Padahal, sebagaimana pembuat boneka lebih tahu bagaimana memperbaiki boneka buatannya, Tuhan pasti lebih tahu apa yang kita butuhkan untuk keluar dari masalah. Berhentilah meniru kebiasaan iblis yang berusaha mendikte apa yang harus Tuhan lakukan. Dia sudah tahu --SL

BERHENTILAH MENDIKTE TUHAN TUHAN PALING TAHU APA YANG KITA PERLUKAN

Sumber : Renungan Harian

Mendengarkan

Mendengarkan
Oleh : Tian Ming Tek

Amsal 1:5 - Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan.

Bijak berarti selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir; pandai bercakap-cakap. Bijaksana berarti selalu menggunakan akal budinya, pengalaman dan pengetahuannya; arif; tajam pikirannya; pandai dan hati-hati, cermat, teliti apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.

Orang bijak selalu mendengarkan dan menambah ilmu. Tuhan memberikan 2 telinga supaya dapat mendengarkan sebaik-baiknya. Orang bijak mendengarkan lebih dahulu sebelum berbicara. Ketika orang bijak mendengarkan, maka mereka akan memperoleh pengertian. Ketika pengertian bertambah, maka pengetahuan pun bertambah. Ketika pengetahuan bertambah, maka kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan dan kesulitan pun bertambah.

Mengapa ada 2 orang dapat bertengkar? Karena kedua mereka sedang berbicara pada waktu yang bersamaan. Keduanya tidak ada yang mau saling mendengarkan. Merekan lebih mendahulukan emosi, ketimbang logika. Berlomba-lomba mengeluarkan perasaan hati, dan pendapat, lalu siapa yang mendengarkan mereka? Jadi, ketika orang sedang marah, telinganya sedang tertutup, dan mulutnya sedang terbuka.

Jangan berbicara kepada orang yang sedang marah. Mereka tidak akan mendengarkan. Tetapi berbicaralah, ketika mereka sudah dapat menguasai diri dan mereka sudah membuka telinga, hati, pikiran mereka untuk mau mendengarkan.

Apakah saudara lebih banyak berbicara atau lebih banyak mendengarkan? Dibutuhkan kesabaran yang lebih banyak untuk belajar mendengarkan orang lain. Hikmat, pengetahuan dan pengertian akan bertambah lewat mendengarkan. Iman pun bertumbuh lewat mendengarkan firman Tuhan. Iman itu pulalah yang dapat mengalahkan dunia.

Apakah saudara sudah belajar mendengarkan orang lain lebih dahulu? Seek first to understand, then to be understood! 60% permasalahan sudah selesai apabila saudara mendengarkan dan mengerti permasalahannya.

Saling Mengasihi

Saling Mengasihi
Oleh Tian Ming Tek

1 Yohanes 4:7,10, "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan telah mengutus Anak-Nya sebagai perdamaian bagi dosa-dosa kita.”

Beberapa hal yang dapat kita petik dari firman Allah di atas, sbb:
1. Saling mengasihi adalah perintah Allah. Perintah ini harus ditaati dan dilaksanakan, bukan untuk dipertanyakan: "Bagaimana saya dapat mengasihi dia yang telah menyakiti hati saya?" Dalam kasih ada pengampunan. Pengampunan membebaskan kita dan orang tersebut dari penghukuman. Kasih itu memerdekakan kita dari penghukuman.

2. Kasih itu berasal dari Allah. Kasih memiliki kuasa yang dahsyat dan luar biasa. Tanpa kasih, hidup jadi kering, gersang tak berarti. Kasih mengubah padang gurun menjadi kebun buah-buahan. Hidup yang penuh gairah dan pengharapan, karena Allah adalah sumber kehidupan.

3. Setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah. Kasih itu memberi dan berkorban. Kasih itu tidak mementingkan diri sendiri. Mengasihi adalah kata kerja aktif. Apabila saudara sudah kekeringan kasih, aktiflah mengasihi, maka kasih itu akan mengalir keluar dari dalam hati saudara dan tidak akan mengalami kekeringan lagi, tapi akan mengalami kelimpahan sampai selama-lamanya. Kasih Allah tiada pernah berkesudahan.

4. Karena begitu besar kasih Allah kepada kita semua, maka Dia telah memberikan anak-Nya sebagai perantara perdamaian dengan kita yang telah jatuh ke dalam dosa agar dapat memperoleh kasih anugerah-Nya.

Marilah kita saling mengasihi Allah sumber kasih melimpahkan kasih-Nya kepada kita mulai saat ini sampai selamanya. Amin!

S.O.S

SOS
Oleh : Tian Ming Tek

Seorang teman telah menulis email tentang sebuah dompet titipan dari seorang sahabat di Singapore yang disampaikannya kepada seorang ibu di sebuah desa di Riau. Si Ibu menangis pada saat menerima dompet itu. Ia merasakan kebaikan yang sangat luar biasa karena ada seseorang yang jauh di seberang lautan sana yang ingat kepadanya dan membelikan dompet kesukaannya.

Sahabat saya sampai terharu dan terkesan, lalu menulis email itu. Nilai sebuah kebaikan! Nilai sebuah persahabatan! Nilai sebuah ketulusan! Nilai sebuah pemberian! Nilai sebuah perhatian! Ya, masih banyak nilai-nilai yang tak ternilai yang dapat kita perbuat untuk orang-orang yang kita kasihi dalam hidup ini.

Tapi tahukah saudara kebaikan yang terbaik dan paling berharga buat saudara, keluarga dan sahabat-sahabat kita? KESELAMATAN KEKAL! Ya, keselamatan kekal! Tidak ada yang lebih berharga lagi selain keselamatan kekal. Kita sering melakukan kebaikan kepada banyak orang. Tetapi kebaikan yang terbaik itu adalah membawa berita dari Allah Bapa! Berita keselamatan kekal di dalam Yesus Kristus.

Yohanes 1:1-4, Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun yang telah dijadikan. Dalam dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.

Yohanes 1:14, Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.
Nabi Yahya atau Yohanes berseru-seru dan bersaksi di padang gurun agar orang-orang menerima keselamatan kekal. Yesus Kristus adalah Juruselamat manusia.

SOS! Dunia dalam keadaan SOS! Umat manusia dalam kedaan SOS! Save Our Soul! Save Our Soul! Marilah kita berdoa dan melaksanakan Amanat Agung untuk jiwa-jiwa yg sedang berjalan menuju kebinasaan! Itulah kebaikan sejati bukan duniawi.

Friday, July 01, 2011

Amazing Bible

The Bible vs The Koran
Author: Eric Lyons

The Islamic holy book known as the Koran (or Qur’an) claims to be the final word from God. When reading the Koran, one constantly is reminded that it is not a human product, but (supposedly) is “wholly” inspired of God. In Sura (chapter) 39:1 we read: “This Book is revealed by God, the Mighty, the Wise One.” Sura 55:1 says, “It is the Merciful [God] who has taught the Koran” (parenthetical comment added). Other Suras that use different words to convey a similar idea include 3:7, 41:23, 12:1-2, and 25:6. After reviewing the Koran, however, it becomes clear that it is anything but a “Book revealed by God.”

First, because the Koran is based solely upon what one person (Muhammad) allegedly saw and heard, one cannot help but question its claims of divine origin. [Interestingly, the second Sura in the Koran begins by saying, “This Book is not to be doubted.” Thus, I suppose we are violating one of the first commands in the Koran by asserting that it should be doubted (cf. 1 John 4:1; Matthew 24:24).] According to Islamic tradition, Mohammed, the founder of Islam, received revelations from the angel Gabriel on various occasions over a period of twenty-three years (Geisler and Saleeb, 1993, p. 90; cf. Sura 25:32; 17:106). After each personal encounter with Gabriel, Mohammed allegedly recited the words to scribes (cf. Sura 73:1-7). The Islamic scripture is based entirely upon these private “experiences.” As Kippy Myers noted: “Only one person allegedly saw the angel. Only one person allegedly heard a voice. Only one person allegedly saw the visions. The only way to become a Moslem, then, is to take this one man’s word for it” (1994, p. 11, emp. added).

On the other hand, the Bible is based in history, not in the subjective experience of one individual. About forty different men from various backgrounds wrote the Bible over a period of 1,600 years. It is backed by objective, historical events experienced by thousands of individuals. And many of its places, events, and people can be verified by history. Many biblical places and persons, which for centuries were unknown to secular history (such as the great Hittite nation), now have been discovered. Archaeology, literature, science, and geography confirm its details, and tie it to a reality outside the mind of any single person or any group of people. Indeed, unlike the Koran, the Bible alone rings of authenticity!

Another major problem with the Koran is that it presents the Bible as being ordained and revealed by God (see Suras 5:72; 19:29-30; 21:7; 29:46-47). Normally, someone or something (in the case of the Koran) claiming that the Bible is the inspired Word of God would not be a problem. But, in the Koran’s case, it is a significant problem. Why so? Because the Koran also claims to be from God, and yet it consistently disagrees with the Bible. Notice just three instances where the Koran contradicts the Bible:

* In Sura 20:87, 96 the Koran states that the golden calf that the Israelites worshipped at the foot of Mount Sinai in the days of Moses was made by “the Samaritan.” The city of Samaria, however, was not built until hundreds of years after the death of Moses (see 1 Kings 16:24).
* The Bible indicates that drunkenness is a sinful work of the flesh that will keep a person out of heaven (Galatians 5:21; 1 Corinthians 6:10). In contrast, the Koran teaches that drunkenness is all right, unless you are praying (see Moffitt, 1992, pp. 6-7).
* Finally, whereas the Koran denies that Jesus ever was crucified (Sura 4:157), the Bible emphatically states numerous times that He was (Matthew 27:34,50; Luke 23:33,46).

Even though the Koran states that it contains no contradictions (Sura 18:1-2), any person seeking the Truth easily can see that it does. In contrast, the Bible is accurate in every way. After 2,000 years of attacks by infidelic scoffers, not one legitimate mistake has been found.

REFERENCES

Geisler, Normon L. and Abdul Saleeb (1993), Answering Islam (Grand Rapids, MI: Baker Books).

Moffitt, Jerry (1992), “The Koran and the Bible—A Striking Contrast,” Firm Foundation, 107[6]:6-7, June.

Myers, Kippy (1994), “Why Christianity? Why the Bible?,” Reason & Revelation, 14:9-14, February.

Source : Apologetics

Popular Posts