Monday, February 27, 2012

Dipanggil Untuk Bekerja

VOCATIO (Yohanes 17:1-8)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk Kulakukan (Yohanes 17:4)

Apakah Anda bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja? Pada kedua hal tersebut terdapat perbedaan pandangan dan pemaknaan yang sangat besar terhadap natur kerja. Jika kita bekerja untuk hidup, maka pekerjaan sekadar menjadi sarana untuk sesuatu yang lain. Tak heran banyak orang ingin segera memiliki "kemerdekaan finansial" supaya tidak lagi harus melelahkan diri bekerja mencari uang. Jika kita hidup untuk bekerja, maka pekerjaan menjadi sasana di mana kita mempersembahkan hidup kita bagi kemuliaan Tuhan. Tuhan menghendaki kita mengasihi dan melayani Dia, dan pekerjaan menjadi cara kita melakukannya.

Hari ini kita membaca catatan doa Tuhan Yesus menjelang akhir hidup-Nya. Memperhatikan doa-Nya, kita tahu tujuan hidup Yesus adalah agar Bapa dikenal dan dimuliakan. Yang menarik adalah cara Yesus melakukannya: "dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku ..." (ayat 4). Dan, kita diutus ke dalam dunia sebagaimana Kristus telah diutus (ayat 18). Kata pekerjaan dalam bahasa Inggris adalah vocation, yang berasal dari bahasa Latin vocatio yang berarti panggilan. Pekerjaan dan panggilan seharusnya merupakan hal yang sama.

Apakah Anda menghayati pekerjaan Anda sekarang sebagai panggilan Tuhan? Menemukan panggilan bukan hanya berlaku ketika seseorang menggumulkan menjadi pendeta atau misionaris, tetapi seharusnya meliputi semua vocation lainnya. Hanya dengan demikian kita baru bisa mengalami pekerjaan yang otentik, di mana kita memiliki pekerjaan yang tepat, untuk alasan yang benar, dan menikmati hasil-hasilnya. --JOO

MEMULIAKAN TUHAN MELIPUTI MENEMUKAN DAN MENYELESAIKAN PANGGILAN/PEKERJAAN YANG TUHAN BERIKAN UNTUK KITA LAKUKAN

Sumber : Renungan Harian

Menyenangkan Allah

SIAPA TUAN KITA? (1 Tesalonika 2:1-12)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Tidak! Kami tidak berbicara untuk menyenangkan hati orang, melainkan untuk menyenangkan hati Allah, yang menguji hati kami. Sebab kami dianggap layak oleh Allah untuk menyebarkan Kabar Baik itu. (1 Tesalonika 2:4 BIS)

Ada sebuah lelucon mengenai seorang pendeta yang masuk ke toko buku Kristen dan memilih beberapa buku. Setelah melihat-lihat harganya, ia mendekati pelayan toko dan bertanya: "Apakah ada harga khusus untuk hamba Tuhan?" Hmm ... ada seorang hamba yang sedang meminta fasilitas khusus. Menggelikan bukan?

Paulus dan teman-temannya pernah dicurigai sedang mencari hormat atau keuntungan pribadi me lalui pelayanan. Paulus membantah hal tersebut dan menegaskan prinsipnya dalam pe la yanan . Ia tahu siapa tuannya dan kepada siapa ia mencari perkenan. Baginya, Allah adalah Sang Tuan yang telah memercayainya (trust) dan memercayakan (entrust) berita Injil kepadanya. Karena itu hanya kepada Allah-lah ia harus mempertanggungjawabkan semua pelayanannya. Keinginannya hanya satu: menyukakan hati Allah yang empunya pelayanan (ayat 4). Sekalipun baik untuk memperoleh pujian dari manusia, namun bukan itu yang seharusnya dicari dalam pelayanan (ayat 6). Karena kalau pujian manusia yang kita kejar, maka bisikan dari Sang Tuan bisa saja kita abaikan.

Di dalam pelayanan mungkin kerap kali kita lupa siapa "tuan" kita. Kita lebih sering membuka telinga ke samping daripada ke atas. Kita lebih suka dan lebih sering mencari komentar dari orang-orang di sekeliling kita daripada komentar Tuan kita. Lalu berdasarkan komentar itu kita mengarahkan pelayanan kita. Selama ini, terhadap komentar siapakah kita lebih merasa nyaman atau terganggu? Para "tuan" dan sahabat kita di dunia, ataukah Tuan kita di surga? --PBS

KENALI DAN HORMATI TUAN KITA.  CARI PERKENAN PUJIAN HANYA DARI PADA-NYA.

Sumber : Renungan Harian

Thursday, February 23, 2012

Ada Saatnya

TAK ADA PENGADILAN? (Habakuk 2:1-20)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh (Habakuk 2:3)

Peristiwa kerusuhan pada 14 Mei 1998 menyisakan kabut kelam dalam sejarah Indonesia. Menjelang Soeharto lengser, keonaran merebak di sejumlah kota, yang terparah terjadi di Jakarta. Perempuan-perempuan keturunan Tionghoa banyak yang diperkosa. Mal-mal dijarah dan dibakar. Banyak warga mati terpanggang. Namun, tak ada yang diadili dalam peristiwa itu. Sampai saat ini.

Benarkah Tuhan acuh tak acuh terhadap kejahatan? Kenapa orang jahat bisa hidup leluasa, sedangkan orang baik malah menderita? Ini adalah juga pertanyaan yang mengganggu nabi Habakuk. Dalam penglihatan, Tuhan menjawabnya. Kejahatan orang Yahudi akan dihukum melalui kedatangan bangsa Kasdim (lihat pasal 1). Dan, karena bangsa itu mendewakan kekuatan sendiri, mereka pun akan ditimpa celaka (ayat 5-19). Tuhan yang kudus tidak membiarkan kejahatan tidak diadili. Dari sisi manusia, adakalanya penghakiman Tuhan terasa lambat, namun Tuhan menegaskan waktunya "sungguh-sungguh akan datang" (ayat 3). Keadilan Tuhan akan ditegakkan. Bahkan, akan tiba saatnya semua orang diadili di hadapan Tuhan (Wahyu 20:12-13).

Anda mungkin pernah diperlakukan tidak adil, padahal Anda berbuat apa yang benar. Dalam kondisi semacam itu, banyak orang putus asa, bahkan tergoda untuk ikut-ikutan bertindak menyimpang. Kitab Habakuk mengingatkan betapa sia-sianya orang yang bermegah atas kejahatan mereka. Maukah kita tetap melakukan apa yang benar meski diperlakukan tidak adil? Orang jahat pasti akan diadili Tuhan. Dengan kepastian yang sama, "orang benar akan hidup oleh percayanya" (ayat 4). --ARS

HIDUPLAH DENGAN BENAR, BAHKAN DALAM SITUASI SUKAR.  TUHAN YANG MAHA MELIHAT AKAN MEMBALAS PADA WAKTU-NYA

Sumber : Renungan Harian

Pertanyaan Jebakan

3 Jebakan Untuk Yesus (Markus 12:13-34)
Oleh : Deny S Pamudji

Ia bukan Allah orang mati, tetapi Allah orang yang hidup (Markus 12:27)

Pengajaran Yesus memang luar biasa pengaruhnya karena Yesus mengajar dengan penuh hikmat dan Yesus juga bisa membuktikan kasih dan kuasa Allah secara fakta.  Karena hal-hal inilah, maka para pemimpin Yahudi mencari jalan untuk menjebak Yesus agar bisa dituntut secara hukum (baik hukum negara, maupun hukum agama).

Jebakan pertama dikerjakan oleh kaum Farisi dan Herodian.  Mereka datang dengan pertanyaan tentang pajak yang nantinya akan dikaitkan dengan hal rohani.  Terhadap jebakan ini jawab Yesus pasti.  Berikan bagian yang milik kaisar untuk kaisar (pajak) dan bagian yang milik Allah untuk Allah (persembahan / perpuluhan).

Jebakan kedua dilakukan oleh kaum Saduki.  Kaum ini sebenarnya tidak percaya tentang kebangkitan, namun yang ditanyakan pada Yesus justeru mengenai kehidupan mendatang.  Maksudnya tidak lain dan tidak bukan untuk mempermalukan Yesus jika Dia menjawab dengan salah.  Pertanyaan dari Saduki sederhana saja.  Bagaimanakah hubungan suami isteri pada saat nanti?  Untuk pertanyaan ini Yesus menjawab pada kehidupan nanti tidak ada lagi istilah perkawinan karena kita semua akan hidup seperti malaikat di sorga.

Jawaban ini juga menjawab pernyataan dari agama atau pengajaran lain yang menggambarkan bagaimana indahnya sorga dengan kekuatan seks seorang pria dan bonus  berupa bidadari cantik yang belum pernah disentuh. 

Jebakan yang ketiga datang dari Guru Taurat.  Pertanyaannya sederhana, tetapi mencakup hal pokok yang harus dilakukan terhadap Allah dan manusia.  Bagaimana sebaiknya kita terhadap Allah dan manusia?

Yesus menjawab bahwa kita harus mengasihi Tuhan dengan sepenuh-penuhnya.  Artinya hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan kita harus sepenuhnya menghormati Allah. Dan terhadap sesama manusia, kita harus mengasih mereka seperti kita mengasihi diri sendiri.

Pada umumnya kita ingin diri kita terlihat sempurna sehingga kita berusaha tampil dengan sempurna.  Maka untuk itu kita akan makan makanan sehat, istirahat yang cukup, kegiatan yang untuk mempertahankan vitalitas kita dan memakai yang terbaik untuk diri agar terlihat baik.  Dengan perhatian dan standar yang sama itulah hendaknya kita mencintai sesama kita .

Terhadap semua jebakan ini Yesus dapat memberi jawab secara mendasar namun menyeluruh.  Namun pengetahuan semua ini tidak akan berguna jika kita tidak mau menerapkan semua dalam kehidupan kita.

Jadilah pengikut Yesus yang taat hukum (negara dan agama), mengetahui upah sesungguhnya yang bakal kita terima di sorga, dan menjaga hubungan dengan Allah serta hubungan manusia secara benar.  Tuhan Yesus memberkati selalu.

Tuesday, February 21, 2012

Kuasa Iman

Syarat Doa (Markus 11:20-26)
Oleh Deny S Pamudji

“Apa pun yang kamu minta dalam doa, kamu harus percaya, bahwa kamu akan mendapatnya, karena hal itu akan terjadi.” (Markus 11:24)

Dalam bacaan di atas kita diajarkan Yesus bagaimana suatu doa yang disertai iman bisa memindahkan gunung.  (Sebelumnya Yesus mengutuk sebuah pohon ara dan pohon itu menjadi mati hingga keakarnya dan ketika murid-Nya bertanya bagaimana hal tersebut bisa terjadi, Yesus memberikan petunjuk bahwa doa harus disertai iman)

Namun mungkin kita bertanya, apakah betul gunung bisa kita pindahkan?!  Mengapa dari dulu hingga sekarang, belum ada seorang kristen pun yang bisa memindahkan gunung?  Apakah itu berarti iman kita tidak sempurna?

Ada yang mengatakan mungkin yang dimaksud bukan gunung sungguhan.  Karena banyak perkara yang Yesus lakukan, masih bisa dilakukan oleh pengikut Yesus seperti misalnya menyembuhkan penyakit (termasuk kanker), membangkitkan orang mati, mencelikan yang buta, membuat tuli mendengar, lumpuh berjalan, dsb.

Cuman lagi-lagi ada juga yang belum bisa dilakukan seperti membuat pohon menjadi layu, menggandakan roti dan ikan, dan beberapa lainnya.

Tetapi dalam bacaan ini ada catatan yang perlu diperhatikan yakni jika ingin berdoa, kita harus terlebih dulu memaafkan orang yang bersalah pada kita.  Apa artinya?  Bahwa diri kita harus bersih, suci, atau kudus.  Tidak boleh ada lagi dendam, amarah, sakit hati, atau perasaan negatif apa pun.  Jadi mungkinkah ini yang membuat kita semua tidak bisa melakukan apa yang Yesus ajarkan?!

Tampaknya masih ada satu lagi yang perlu agar kita mempunyai doa yang berkuasa yakni Roh Allah.  Dalam beberapa kesempatan Yesus berkata bahwa kekuatan-Nya berasal dari Roh Allah yang ada di dalam diri-Nya. 

Roh ini akan berada di dalam diri kita apabila kita menerima Yesus dan menjaga rumah kita (rohani kita) bersih.  Sebaliknya jika rohani kita kotor, penuh dengan hal-hal keserakahan, dendam, iri, amarah, sakit hati dan segala macam akar pahit, maka yang ada bukanlah Roh Kudus melainkan roh-roh dunia atau roh-roh kenajisan.

Jadi ingin doamu didengar? Bersahabatlah dengan Yesus, hiduplah dengan kudus, dan milikilah iman.  Tuhan memberkati selalu.

Teaching Children

Side By Side (Deuteronomy 6:1-9)

You shall teach them diligently to your children, and shall talk of them when you sit in your house, when you walk by the way, when you lie down, and when you rise up. —Deuteronomy 6:7

In my family scrapbook is a picture of my daughter at age 4 working next to me, using a toy hammer to repair the siding on the house. Side by side we worked that day; she imitated my every action, absolutely convinced that she too was fixing the house. Rarely have I enjoyed a chore more. In the picture, it’s obvious that she’s enjoying it too.

That photo reminds me that our children mimic most of what they see in us—words and deeds. They also form their images of God from the images they have of us as parents. If we’re stern and unmerciful, they’re likely to see God that way too. If we’re distant and cold, so God will seem to them as well. It is one of our most important duties as parents to help our children see God clearly, especially the unconditional nature of His love.

I can imagine the family scrapbook of my relationship with God having a similar picture. I’m learning from Him how to live life, how to love, and how to make it a permanent part of my being. He then teaches me how to teach others (Deut. 6:1-7).

May the Lord grant us an understanding of Him and the wisdom to pass it on. —Randy Kilgore

We must teach our children clearly
What is right and what is wrong;
Live before them an example—
Godly, righteous, pure, and strong. —Fitzhugh

To teach your children well, let God teach you.

Source : Our Daily Bread

Monday, February 20, 2012

Pembentukan

INDAHNYA TEGURAN (Amsal 13:14-24)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

...tetapi siapa mengindahkan teguran, ia dihormati (Amsal 13:18)

Dalam audisi American Idol, tampillah seorang kontestan yang begitu percaya diri. Ia meyakinkan para juri bahwa ia adalah bintang masa depan. Namun, sewaktu ia mulai bernyanyi, suaranya sedemikian buruk sehingga selang beberapa detik para juri terpaksa menghentikannya. Ia berkata dengan marah, "Bagaimana bisa kalian tidak melihat talenta saya? Selama ini tidak pernah ada yang mengkritik suara saya!" Saya membayangkan, seandainya sejak awal ada yang berani memberitahu dengan tegas bahwa ia tidak cocok menjadi penyanyi, ia pasti akan mengenal dirinya dengan lebih tepat dan tidak dipermalukan di ajang ini.

Teguran atau kritik tidak selalu buruk. Bahkan, teguran dapat menjadi sarana Tuhan untuk membentuk kita. Kritik bisa mencegah kita terjerumus ke dalam kesalahan yang memalukan di kemudian hari (ayat 14, 17). Menurut penulis Amsal, orang yang terhormat adalah mereka yang tidak pantang terhadap kritik. Mengabaikan kritik sama saja dengan mengabaikan didikan (ayat 18). Bahkan, kritik yang keras bisa jadi adalah bentuk kasih terbaik dari seseorang kepada kita (ayat 24).

Apakah pada waktu-waktu ini Anda sedang mendapat teguran atau kritikan? Bagaimana Anda menanggapinya? Kerap reaksi kita adalah menolak, menjadi tersinggung atau marah, karena yang namanya kritik pasti tidak enak didengar. Mari mengingat keindahan dan keuntungan dari teguran yang baik. Jangan terlalu cepat menutup diri dari teguran. Terimalah dengan rendah hati. Cernalah dengan bijaksana. Bersyukurlah bahwa Tuhan membentuk kita melalui teguran kasih sesama. --JIM

KETIKA KITA MENOLAK TEGURAN YANG BAIK, KITA JUGA MENOLAK PEMBENTUKAN DARI TUHAN

Sumber : Renungan Harian

Friday, February 17, 2012

When Trouble Comes

Knocked Off Your Feet? (Psalm 116:1-6)

God is our refuge and strength, a very present help in trouble. —Psalm 46:1

Because I’ve written many articles and a book about dealing with life’s losses, I have the privilege of being introduced to a number of fellow strugglers along life’s journey. One of my new friends is a mom whose 21-year-old daughter died suddenly in 2009, which sent her reeling. She told me, “I feel like an outcast from the normal world. I feel crushed and my soul is in so much pain.”

Indeed the losses that visit us can knock us off our feet—whether a death in the family, a child who walks away from God and family, or a physical or mental setback.

Yet what I’ve discovered is something musician Jeremy Camp made clear in a song he wrote after the death of his wife in 2001: When you are knocked off your feet by life’s difficulties, remember that “God is our refuge and strength, a very present help in trouble” (Ps. 46:1). That’s reason enough to get back up again. Camp described his struggle in the song called “Understand.” He asked, “Why don’t I get back on my feet again?” And he recognized that he could because “I know You understand it all.”

When trouble knocks us down, we can look up. God is there. He understands and cares. It’s not easy, but we can trust Him to help us get back on our feet again. —Dave Branon

Lift up your eyes, despairing one,
The Lord your help will be;
You have a friend in heaven who cheers,
And calms the troubled sea. —Anon.

There is no place where earth’s sorrows are felt more than in heaven.

Source : Our Daily Bread

Indah Pada Waktunya

ULAT JADI KUPU-KUPU (Kejadian 50:15-21)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan ... (Kejadian 50:20)

Seorang kawan mengirimi saya SMS menggelitik, "Aku meminta dari Tuhan setangkai bunga segar, Dia memberiku kaktus jelek dan berduri. Aku meminta kupu-kupu, Dia memberiku ulat. Aku kecewa dan sedih! Namun, beberapa hari kemudian, kaktus itu berbunga indah sekali dan ulat itu menjelma menjadi kupu-kupu yang amat cantik. Itulah jalan Tuhan: selalu indah pada waktu-Nya."

Jalan Tuhan memang kerap kali sukar dipahami dengan pikiran manusia yang terbatas. Kisah Yusuf adalah contohnya. Sebagai anak kesayangan bapaknya, Yusuf kecil yang penuh percaya diri tentu tak pernah menduga akan dijual saudara-saudaranya sendiri (lihat Kejadian 37). Tiga belas tahun yang sulit dilalui, sebelum akhirnya Yusuf dipercaya sebagai wakil raja (lihat Kejadian 39-41). Ia mungkin bertanya-tanya mengapa Tuhan mengizinkan semua itu terjadi. Hanya setelah menyelamatkan bangsanya dari kelaparan, barulah ia paham bagaimana Tuhan berdaulat mendatangkan kebaikan melalui berbagai kesulitan yang ia alami (ayat 20). Bukan hanya itu, Yusuf pun dibentuk agar dapat menerima tanggung jawab yang besar dan mengasihi mereka yang dulu menyakitinya.

Mungkin Anda mengalami salah satu atau beberapa masalah seperti Yusuf. Anda tidak paham mengapa Tuhan memberikan "ulat" dan bukannya "kupu-kupu". Ingatlah bagaimana Tuhan berkarya melalui hidup Yusuf, mendatangkan kebaikan yang jauh melampaui pikirannya. Setiap keadaan dapat dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan, bahkan bila orang lain semula berniat untuk menjahati kita. Maukah kita tetap percaya dan taat pada-Nya? --ARS

TUHAN MENGIZINKAN PROSES MENYAKITKAN DALAM KEPOMPONG UNTUK MEMBENTUK ULAT MENJADI KUPU-KUPU NAN ELOK

Sumber : Renungan Harian

Wednesday, February 15, 2012

Jangan & Lakukan

BERHASIL KARENA DIBERKATI

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah taurat TUHAN (hukum Tuhan, versi bhs. Inggris), dan yang merenungkan taurat (hukum) itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya , dan yang tidak layu daunnya apa saja yang diperbuatnya berhasil.“ Mazmur 1:1-3

Berbahagialah [“BLESSED” (diberkati) dalam versi bhs. Inggris]. Itulah kata pembukaan dari seluruh kitab Mazmur yang sekaligus memuat intisari dari segala sesuatu yang ditulis dalam kitab tersebut. Berkat-berkat yang tercantum di situ mengalir dalam dua arah: berkat Tuhan untuk manusia, dan kemudian manusia mengembalikan berkat itu untuk memuliakan Tuhan. Di dalam mazmur ini Daud menulis sebuah kalimat yang singkat namun padat isinya untuk menggambarkan berkat-berkat yang dijanjikan kepada manusia : “Apa saja yang diperbuatnya berhasil.”

Bagaimana Anda dapat menjadi orang seperti itu, menjadi orang yang diberkati Tuhan sehingga apapun yang Anda lakukan pasti berhasil? Daud menyampaikan lima buah persyaratan untuk hal ini. Tiga yang pertama merupakan persyaratan negatif, kemudian diikuti oleh dua persyaratan yang positif. Apakah persyaratan negatif yang harus dipenuhi terlebih dahulu? Jangan Anda berjalan menurut nasihat orang fasik, Jangan berdiri di jalan orang berdosa, Jangan duduk dalam kumpulan pencemooh. Intisari dari ketiga persyaratan tersebut adalah: kepada siapakah Anda pergi untuk mencari nasihat atau petunjuk? Nasihat yang Anda turuti itulah yang menentukan arah atau perjalanan kehidupan Anda.

Apabila Anda mengikuti nasihat dari orang-orang yang menolak prinsip-prinsip Tuhan dan mengabaikan hukum-Nya, tentu saja Anda tidak berhak atas berkat-berkat-Nya yang membahagiakan itu. Selanjutnya, dua persyaratan yang positif itu adalah: Anda harus suka (gemar) akan taurat Tuhan (hukum atau perintah-perintah Tuhan) dan merenungkannya siang & malam. Sumber utama bagi segala nasihat yang bijaksana dan benar hanyalah hukum atau peraturan Tuhan. Apabila pikiran dan hati Anda senantiasa diisi dan dipenuhi dengan peraturan Tuhan dan kehidupan Anda selalu jalan dengan peraturan tersebut, tentu Tuhan akan memberkati Anda sehingga perjalanan hidup Anda berhasil.

Mungkin Anda selama ini merasa letih karena sering dilanda oleh kegagalan dan kekecewaan. Bila demikian, cobalah Anda sekarang benar-benar memperhatikan hukum-hukum Tuhan. Renungkanlah hukum-hukum itu, terapkanlah dalam hidup Anda sehari-hari. Hukum-hukum itu pasti akan membuahkan suatu hasil dalam kehidupan Anda. Tuhan sendiri menjamin bahwa Anda akan berhasil.

Sumber : Tidak Diketahui

Tuesday, February 14, 2012

Valentine

MERAYAKAN KASIH? (1 Yohanes 4:7-21)
Dikirim oleh : Evi Sjiana Djiun

Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah (1 Yohanes 4:7)

Asosiasi kartu ucapan AS memperkirakan satu miliar kartu Valentine dikirim tiap tahun di seluruh dunia. Hanya Natal yang menandingi-nya. Tahukah Anda bahwa 14 Februari sebenarnya sudah dihapus dari kalender gerejawi? Ini karena latar belakang sejarahnya sangat diragukan. Kemungkinan perayaan ini berkaitan dengan Lupercalia, festival kesuburan dengan ritual penghormatan dewa-dewi dan lotere pasangan lawan jenis. Identitas St. Valentinus yang nama nya dipakai untuk perayaan ini juga kurang jelas. Pastur dari Roma, uskup dari Terni, atau martir di Afrika? 14 Februari adalah tanggal kematian mereka sebagai martir. Jauh dari konotasi cinta romantis.

Hiruk pikuk perayaan bisa jadi justru membuat kasih makin dangkal dimaknai. Padahal, kasih adalah hal yang esensial dalam iman kristiani. Firman Tuhan menyatakannya dengan ringkas dan gamblang: Allah adalah kasih; kasih berasal dari Allah (ayat 7-8). Jadi, bagi anak-anak Allah, kasih semestinya merupakan identitas keluarga. Dari bacaan Alkitab hari ini kita mendapati bahwa kasih diperintahkan, diteladankan, disempurnakan oleh Allah bagi kita (ayat 11, 17). Kasih dimungkinkan melalui pengalaman kita menerima kasih Allah (ayat 10, 19) dan ditumbuhkan melalui pengenalan kita akan Dia (ayat 16-18).

Kekristenan tanpa kasih adalah sebuah omong kosong. Hari ini, mintalah Tuhan menyelidiki hati kita: Bagaimana kasih saya kepada Allah? Kepada sesama? Dunia membutuhkan dan menanti kan anak-anak Allah mencerminkan dan menceritakan tentang kasih-Nya yang mulia. Pertumbuhan kita dalam kasih merupakan tanda bahwa kita tinggal di dalam Allah. --JOO

SEBAB INILAH KASIH KEPADA ALLAH, YAITU BAHWA KITA MENURUTI PERINTAH-PERINTAH-NYA (1 YOHANES 5:3)

Sumber : Renungan Harian

Friday, February 10, 2012

Hypocrisy

Gutters And Windows (Matthew 23:23-31)

Love from a pure heart . . . and from sincere faith. —1 Timothy 1:5

While we were out for a family drive, a spotless white sign with perfect red lettering caught my attention: “Gutters and Windows—Quality Work Guaranteed.” The sign was pristine, but I feared the house and barn directly behind it might collapse at any moment. The paint was peeling, the windows were cracked, and the gutters were nonexistent!

Many of us “advertise” for Jesus, but our spiritual houses are in disrepair. We may attend church, speak in “Christianese,” and mingle nicely with others. But when our conduct does not align with our hearts, our first-class behavior is just a performance of piety. When Jesus confronted the Pharisees, He said, “You . . . outwardly appear righteous to men, but inside you are full of hypocrisy and lawlessness” (Matt. 23:28).

Jesus had a different but equally direct message for His followers: “Do not be like the hypocrites” (6:16). The Bible encourages us to “love from a pure heart . . . and from sincere faith” (1 Tim. 1:5). These inner attitudes should pour out through our words and actions (Luke 6:45).

Today, consider the state of your spiritual house. If people look beyond the beautiful outward display, will they discover an authentic heart? —Jennifer Benson Schuldt

Hypocrisy is a common sin
That grieves the Lord above;
He longs for those who’ll worship Him
In faith and truth and love. —Bosch

God desires that our actions be a reflection of a pure heart.

Source : Our Daily Bread

Sharks

Feeding Frenzy (Matthew 5:1-12)

Blessed are the merciful, for they shall obtain mercy. —Matthew 5:7

People who study sharks tell us that they are most likely to attack when they sense blood in the water. The blood acts as a trigger to their feeding mechanism and they attack, often in a group, creating a deadly feeding frenzy. Blood in the water marks the vulnerability of the target.

Sadly, this is sometimes how people in the church respond to those who are hurting. Instead of being a community where people are loved, cared for, and nurtured, it can become a dangerous environment where predators are looking for the “blood in the water” of someone’s failings or faults. And then the feeding frenzy is on.

Instead of kicking people when they are down, we should be offering the encouragement of Christ by helping to restore the fallen. Of course, we’re not to condone sinful behavior, but our Lord calls us to display mercy. He said, “Blessed are the merciful, for they shall obtain mercy” (Matt. 5:7). Mercy has been described as not getting what we deserve, and we all deserve eternal judgment. The same God who shows us mercy in Christ calls us to show mercy to one another.

So when we see “blood in the water,” let’s seek to show mercy. The day may come when we will want someone to show mercy to us! —Bill Crowder

Lord, help us to be merciful
To those who fall in sin,
Remembering You rescued us
And cleansed us from within. —Sper

We can stop showing mercy to others when Christ stops showing mercy to us.

Source : Our Daily Bread

Unique Relationship

Genuine Friends (John 15:9-17)

No longer do I call you servants, . . . but I have called you friends, for all things that I heard from My Father I have made known to you. —John 15:15

Experts who track the changing vocabulary of the English language chose unfriend as the New Oxford American Dictionary Word of the Year for 2009. They defined it as a verb, “to remove someone as a friend on a social networking Web site,” such as Facebook. On that site, friends allow each other to access the personal information on their Facebook pages. They may never meet face to face or even exchange greetings online. In our world of fleeting cyber acquaintances, we are beginning to realize that having a true friend means more now than ever before.

When Jesus called His disciples “friends” (John 15:15), He spoke of a unique relationship involving mutual commitment. He was only hours from laying down His life (v.13), and He asked them to show their friendship by keeping His commands (v.14). Most astonishing, perhaps, is Jesus’ statement: “No longer do I call you servants, for a servant does not know what his master is doing; but I have called you friends, for all things that I heard from My Father I have made known to you” (v.15).

In a genuine friendship, one’s faithfulness can shore up the other’s in times of discouragement or fear. That is what Jesus is to us—our always faithful, forever Friend. —David McCasland

Hallelujah! What a Savior!
Hallelujah! What a Friend!
Saving, helping, keeping, loving,
He is with me to the end. —Chapman

The dearest friend on earth is but a mere shadow compared to Jesus.

Source : Our Daily Bread

Comfort in Tribulation

When The Wind Blows (Romans 8:26-30)

Blessed be the . . . God of all comfort, who comforts us in all our tribulation. —2 Corinthians 1:3-4

Harold and Cathy and their two sons were in a wooded area in Minnesota when a tornado touched down. Cathy described her experience to me several years later:

“My husband and older son were some distance away, but my younger son and I took cover in a cabin. We heard a sound like a hundred railroad cars and instinctively dropped to the floor in a tucked position. The cabin began to break apart, and I shut my eyes because of all the flying debris. It felt like I was going up in an elevator and then was shot into the air. I landed in a lake and clung to debris to stay afloat.”

Tragically, however, their younger son did not survive. Harold said of their loss: “We cried every day for 6 weeks. But we believe that God’s loving sovereignty allowed that tornado to come down where we were. And we also took comfort in the fact that our son knew the Lord.”

When a loved one is taken and we are left behind, it can create all kinds of questions. In times like these, Romans 8:28 can be of great encouragement: “We know that all things work together for good to those who love God, to those who are the called according to His purpose.” This couple’s trust in God’s loving sovereignty brought them comfort in the midst of their grief (2 Cor. 1:3-4). —Dennis Fisher

When we sustain a heartbreaking loss,
When grief overwhelms our soul,
The Savior who gave Himself on the cross
Reminds us that He’s in control. —D. De Haan

Our greatest comfort in sorrow is to know that God is in control.

Source : Our Daily Bread

Gift of Peace

The Prince Of Peace (John 14:25-31)

Peace I leave with you, My peace I give to you. —John 14:27

Years ago I came to know a young man who rode with a motorcycle gang. He had grown up on a mission field where his parents served. When his family returned to the US, he seemed unable to adjust to life. He lived a troubled existence and was killed in a street fight with a rival gang.

I’ve helped at many funeral services, but this was by far the most memorable. It was held in a park where there is a natural grassy bowl surrounding a small lake. His friends parked their bikes in a circle and sat on the grass around a friend and me while we conducted the service. We spoke simply and briefly about peace among warring factions and the inner peace that Jesus’ love can bring.

Afterward, a motorcycle gang member thanked us, started to walk away, but then turned back. I’ve never forgotten his words. He said that he had “a putt, a pad, and an old lady” (a bike, apartment, and girlfriend), and then added, “But I ain’t got no peace.” So we talked about Jesus who is our peace.

Whether we’ve got a chopper or a Cadillac, a mansion or a tiny apartment, a loved one or no one—it makes no difference. Without Jesus, there is no peace. He said, “Peace I leave with you, My peace I give to you” (John 14:27). This gift is for all who trust in Him. Have you asked for His peace? —David Roper

Lord, I want to have peace in my life.
To be at peace with You, with others, and with myself.
Your Word says that comes from You.
Please give me Your gift of peace. Amen.

Jesus died in our place to give us His peace.

Source : Our Daily Bread

Idol Worshipers

God’s Plan, Not Ours (1 Samuel 4:1-11)

I will say of the Lord, “He is my refuge and my fortress; my God, in Him I will trust.” —Psalm 91:2

Everybody was wrong about the ark of the covenant (an item in the tabernacle that represented the throne of God). After losing a battle to the Philistines, Israel sent messengers to Shiloh to ask that the ark be hauled to Ebenezer, the site of their army camp.

When the ark arrived, the Israelites celebrated so loudly the enemy heard them all the way over in Aphek. The ark’s arrival caused the Philistines to fear and the Israelites to have courage.

They were both wrong. The Israelites took the ark into battle and were again clobbered by the Philistines, who captured the ark. Another mistake. The Philistines got sick and their false gods were destroyed.

We can understand the Philistines’ error—they were idol-worshipers. But the Israelites should have known better. They failed to consult God about using the ark. While they knew that the ark was earlier carried in battle (Josh. 6), they didn’t consider that God’s plan, not the ark’s involvement, allowed Israel to defeat Jericho.

No matter our resources, we will fail unless we use them according to God’s plan. Let’s study the Word, pray for God’s direction, and trust His leading (Ps. 91:2) before we step out in any venture of faith. —Dave Branon

My times are in my Father’s hand;
How could I wish or ask for more?
For He who has my pathway planned
Will guide me till my journey’s o’er. —Fraser

We see in part; God sees the whole.

Source : Our Daily Bread

Weakness

Flawed (Genesis 27:6-23)

My strength is made perfect in weakness. —2 Corinthians 12:9

A well-known actor commented that he enjoyed playing “flawed” characters in movies because people could relate better to an imperfect character. Most of us would agree that it’s easier for us to understand people who aren’t perfect because we know that we are imperfect.

God included stories in the Bible of people who were deceitful, weak, unreliable, and angry. Take Jacob, for example, who deceived his father so that he would receive a blessing (Gen. 27:1-29). Then there was Gideon, who was so unsure of God that he asked Him twice for proof that He would be faithful to do what He said He would do (Judg. 6:39). And then there’s Peter, who for fear of his own safety, denied even knowing his friend and Lord (Mark 14:66-72).

But when we read the rest of their stories, we observe that these people were able, with God’s help, to overcome their shortcomings and ultimately be useful to Him. That happened when they depended not on themselves but on God.

Just like the people who lived thousands of years ago, each of us comes with flaws. But by God’s grace we can overcome those imperfections by embracing His “strength [which] is made perfect in weakness” (2 Cor. 12:9). —Cindy Hess Kasper

God’s strength is made perfect in weakness,
For when we are weak He is strong;
He gives us His grace and His power
To overcome in us what’s wrong. —Sper

It’s good to learn of our weakness if it drives us to lean on God’s strength.

Source : Our Daily Bread

Wednesday, February 08, 2012

Feeling

The Cab Driver

Many years ago, I drove a cab for a living.  It was a cowboy's life, a life for someone who wanted no boss. What I didn't realize was that it was also a ministry.  Because I drove the night shift, my cab became a moving confessional.  Passengers climbed in, sat behind me in total anonymity, and told me about their lives. I encountered people whose lives amazed me, ennobled me, made me laugh and weep.  But none touched me more than a woman I picked up late one August night.

I was responding to a call from a small brick fourplex in a quiet part of town. I assumed I was being sent to pick up some partiers, or someone who had just had a fight with a lover, or a worker heading to an early shift at some factory for the industrial part of town.

When I arrived at 2:30 a.m., the building was dark except for a single light in a ground floor window. Under these circumstances, many drivers would just honk once or twice, wait a minute, then drive away. But I had seen too many impoverished people who depended on taxis as their only means of transportation. Unless a situation smelled of danger, I always went to the door. This passenger might be someone who needs my assistance, I reasoned to myself. So I walked to the door and knocked.

"Just a minute," answered a frail, elderly voice. I could hear something being dragged across the floor. After a long pause, the door opened. A small woman in her 80s stood before me. She was wearing a print dress and a pillbox hat with a veil pinned on it, like somebody out of a 1940s movie.  By her side was a small nylon suitcase. The apartment looked as if no one had lived in it for years. All the furniture was covered with sheets. There were no clocks on the walls, no knickknacks or utensils on the counters. In the corner was a cardboard box filled with photos and glassware.

"Would you carry my bag out to the car?" she said. I took the suitcase to the cab, then returned to assist the woman. She took my arm and we walked slowly toward the curb. She kept thanking me for my kindness. "It's nothing,” I told her. "I just try to treat my passengers the way I would want my mother treated."  "Oh, you're such a good boy," she said.

When we got in the cab, she gave me an address, then asked, "Could you drive through downtown?"  "It's not the shortest way," I answered quickly. "Oh, I don't mind," she said. "I'm in no hurry. I'm on my way to a hospice." I looked in the rearview mirror. Her eyes were glistening.  "I don't have any family left," she continued. "The doctor says I don't have very long." I quietly reached over and shut off the meter.  "What route would you like me to take?" I asked.

For the next two hours, we drove through the city. She showed me the building where she had once worked as an elevator operator. We drove through the neighborhood where she and her husband had lived when they were newlyweds. She had me pull up in front of a furniture warehouse that had once been a ballroom where she had gone dancing as a girl. Sometimes she'd ask me to slow in front of a particular building or corner and would sit staring into the darkness, saying nothing.

As the first hint of sun was creasing the horizon, she suddenly said, "I'm tired. Let's go now."

We drove in silence to the address she had given me. It was a low building, like a small convalescent home, with a driveway that passed under a portico. Two orderlies came out to the cab as soon as we pulled up. They were solicitous and intent, watching her every move. They must have been expecting her.

I opened the trunk and took the small suitcase to the door. The woman was already seated in a wheelchair.  "How much do I owe you?" she asked, reaching into her purse. "Nothing," I said.  "You have to make a living," she answered. "There are other passengers," I responded.  Almost without thinking, I bent and gave her a hug. She held onto me tightly.  "You gave an old woman a little moment of joy," she said. "Thank you."  I squeezed her hand, then walked into the dim morning light. Behind me, a door shut. It was the sound of the closing of a life.

I didn't pick up any more passengers that shift. I drove aimlessly, lost in thought. For the rest of that day, I could hardly talk. What if that woman had gotten an angry driver, or one who was impatient to end his shift?  What if I had refused to take the run, or had honked once, then driven away? On a quick review, I don't think that I have done anything more important in my life. We're conditioned to think that our lives revolve around great moments. But great moments often catch us unaware -- beautifully wrapped in what others may consider a small one.

People may not remember exactly what you did, or what you said, but they will always remember how you made them feel.

“The LORD preserveth the strangers; he relieveth the fatherless and widow: but the way of the wicked he turneth upside down.” - Psalm 146:9 

Source : Sherry's Inspirational

Roh Kudus

ROH PENGENALAN AKAN TUHAN (Efesus 1:15-23)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

"...supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar" (Efesus 1:17)

Dalam sebuah konferensi Alkitab, Prof. Ludwig Kopfwissen dari Universitas Wissenheim menyampaikan makalah "Doktrin Paulus tentang Pembenaran oleh Iman". Ia menjelaskan doktrin ini dengan sangat baik. Di akhir kuliahnya, semua pendengar memberikan tepuk tangan yang meriah karena mereka begitu kagum. Namun, sebelum kembali ke tempat duduknya, ia mengucapkan komentar yang amat mengejutkan, "Tetapi, semuanya hanyalah omong kosong!" Sang pakar Alkitab ternyata bukanlah seorang yang beriman. Bagaimana bisa seseorang yang meneliti dan menguasai firman Tuhan, tetapi tidak percaya pada Tuhan?

Hal ini sangatlah mungkin karena firman Tuhan tak pernah berdiri sendiri untuk menjamah dan mengubah hati orang. Kuasa firman Tuhan berasal dari pekerjaan Roh Kudus dalam hati seseorang. Demikianlah keyakinan Paulus. Sebab itu, ia berdoa supaya Roh Kudus senantiasa menolong orang percaya untuk mengenal Tuhan (ayat 17). Roh Kuduslah yang dapat menerangi hati kita untuk memahami pengharapan, kemuliaan, kuasa, dan karya Bapa melalui Kristus untuk menebus dunia ini (ayat 18-21).

Tanpa Roh Kudus, kita tidak akan mengalami kuasa transformasi dari firman-Nya dalam kehidupan ini. John Owen, teolog dari abad ke-17, memperingatkan kita, "Jika Roh Kudus tidak bekerja bersama firman-Nya maka Alkitab hanyalah kumpulan huruf mati." Adakah kita senantiasa bergantung pada Roh Kudus saat membaca dan mendengarkan firman-Nya? Berdoalah selalu agar Roh Kudus membuka hati kita setiap kali berhadapan dengan firman-Nya. --JIM

DALAM SEKOLAH KEHIDUPAN, ROH KUDUS ADALAH GURU DAN ALKITAB ADALAH BUKU WAJIBNYA

Sumber : Renungan Harian

Monday, February 06, 2012

Gratitude

Consider The Source (James 1:12-18)

Every good gift and every perfect gift is from above, and comes down from the Father of lights. —James 1:17

I love cinnamon. I love cinnamon rolls, cinnamon graham crackers, cinnamon candies, cinnamon toast, cinnamon apples, and cinnamon pretzels. Cinnamon is one of those spices that makes other things taste better. However, it never crossed my mind to think about where cinnamon comes from. Then, on a recent trip to Sri Lanka, I learned that 90 percent of all the cinnamon in the world comes from that island nation located in the Indian Ocean. For all of the cinnamon I’ve enjoyed over the years, I never stopped to consider its source.

Sadly, my walk with Christ is sometimes like that. God has blessed me with a wonderful wife, five children, and grandchildren who are more fun than a barrel of monkeys. In the midst of my enjoyment of them, however, I sometimes fail to consider the source of those blessings—what the hymnwriter called the “fount of every blessing.” James put it like this: “Every good gift and every perfect gift is from above, and comes down from the Father of lights, with whom there is no variation or shadow of turning” (1:17).

How ungrateful we would be to enjoy the rich blessings of life without thanking the Father who is the source of all of creation. —Bill Crowder

Dear Lord, from whom all blessings flow,
Most precious gifts dost Thou bestow;
So truly faithful may I be
As Thou art gracious unto me. —Roworth

Gratitude is a God-honoring attitude.

Source : Our Daily Bread

Anak Allah

BAPA (Roma 8:12-17)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

... kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Roma 8:15)

Bilquis Sheikh menuliskan kisah hidupnya dalam buku I Dared to Call Him Father. "Aku tiba-tiba menyadari bahwa Dia mendengarkanku. Sama seperti bapaku di dunia mendengarkanku ... Tiba-tiba aku merasa ada orang lain yang hadir di situ. Dia ada di situ. Aku bisa merasakan hadirat-Nya ... Aku merasa seperti gadis kecil yang duduk di pangkuan Bapanya, " demikian ia menulis. Kenyataan bahwa ia bisa memanggil Allah dengan sebutan Bapa membawa Bilquis merasakan kasih-Nya yang luar biasa.

Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma juga membukakan betapa luar biasanya hal ini. Ia menulis bahwa orang-orang kristiani yang dipimpin oleh Roh Allah adalah anak-anak Allah (ayat 14), dan sebagai anak, kita bisa memanggil-Nya de ngan sebutan Bapa. Perhatikanlah berkat Bapa bagi anak-anak-Nya. Pertama, kita diberi kemampuan untuk mematikan perbuatan-perbuatan daging (ayat 13). Itu artinya kita diberi kesanggupan untuk menolak dosa, berkata tidak terhadap pencobaan. Kedua, kita tidak lagi menerima roh perbudakan yang membuat kita takut (ayat 15). Ketiga, kita adalah ahli waris dari janji-janji Allah (ayat 17). Berkat-berkat yang hebat dari Bapa yang hebat!

Seberapa sering kesadaran bahwa kita punya Bapa di surga mewarnai kehidupan kita sehari-hari? Kerap kita mengalah pada dosa, berputar-putar dalam ketakutan dan kekhawatiran hidup di dunia. Kita perlu lebih sering mengingat identitas kita sebagai anak Allah. Dan, biarlah rasa hormat dan sukacita mengalir deras di hati setiap kali secara sadar kita memanggil-Nya sebagai Bapa. --GS

MEMANGGIL TUHAN DENGAN SEBUTAN BAPA ADALAH HAK ISTIMEWA ANAK-ANAK-NYA

Sumber : Renungan Harian

Keinginan Lain

MENGINGINKAN-MU (Mazmur 73)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. (Mazmur 73:25)

Salah satu lagu favorit saya ialah God is The Strength of My Heart karya Don Moen, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Allah Sumber Kuatku. Lirik lagu ini digubah dari Mazmur 73:25-26. Saya senang menyanyikan refreinnya: "Allah sumber kuatku (3x) dan bagianku s'lama nya", tetapi sering kesulitan menyanyikan dua kalimat pertama: "Hanya Kau milikku di surga/Tiada yang kuingini di bumi, hanya Kau ... " Saya tak bisa bohong di hadapan Tuhan. Kerap kali Tuhan saja tidak cukup. Hati saya punya banyak keinginan yang lain. Seperti Asaf.

Asaf tak bisa bohong di hadapan Tuhan. Ia ingin banyak hal yang dimiliki orang lain (ayat 3-5). Akibatnya, ia mulai merasa hidup yang dipersembahkannya bagi Tuhan itu menyusahkan, bodoh, dan sia-sia (ayat 13-14, 21-22). Ia tahu bahwa tidak patut ia bersikap demikian, tetapi sungguh sulit memahami mengapa Tuhan tidak mengizinkan segala keinginannya terpenuhi, atau setidaknya menutup berkat bagi orang fasik (ayat 15-16).

Menginginkan sesuatu selain Tuhan sungguh mengerikan. Celakanya, jika kita memeriksa diri, justru itulah kecenderungan hati kita. Asaf akhirnya menyadari kebaikan Tuhan yang mencegah nya "berzina meninggalkan Tuhan" (ayat 27), dengan tidak memberikan kepadanya kemujuran orang lain yang sempat ia cemburui. Adakah sesuatu atau seseorang yang kita ingini lebih dari Tuhan dalam hidup kita? Doa saya, Tuhan mencondongkan hati saya sedemikian rupa, sehingga tidak ada hal lain yang lebih menarik dan memuaskan hati saya lebih dari kehadiran-Nya. Biarlah ini menjadi doa Anda juga. --ELS

TUHAN, TOLONG SAYA UNTUK MENGINGINKAN-MU LEBIH DARI APA PUN, LEBIH DARI SIAPA PUN

Sumber : Renungan Harian

Wednesday, February 01, 2012

Melayani Tuhan

TETAP NYATAKAN KEBENARAN (Lukas 22:63-71)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

"Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?" Jawab Yesus: "Kamu sendiri mengatakan bahwa Akullah Anak Allah" (Lukas 22:70)

Pernah melihat atau mengikuti proses persidangan? Anda mungkin pernah mengamati bahwa banyak pertanyaan hakim yang sifatnya menggiring atau menjebak terdakwa untuk memberikan jawaban yang diinginkan.

Situasi yang sama rupanya terjadi juga dalam persidangan yang dihadapi Yesus. Musuh-musuh-Nya meminta penjelasan apakah Yesus benar Sang Mesias, penyelamat yang dijanjikan Tuhan (ayat 67a). Namun, ini bukan pertanyaan yang muncul dari keingintahuan yang tulus, melainkan upaya mencari-cari kesalahan agar mereka dapat menuduh Yesus melakukan tindak kejahatan (ayat 67b). Ironis sekali! Ucapan benar malah dipahami sebagai pernyataan yang ditunggu-tunggu untuk menyalahkan Yesus (ayat 70). Apakah Yesus menyadari motivasi di balik pertanyaan mereka? Sangat tahu! (ayat 67-68). Dan, Dia tetap menyatakan kebenaran, sekalipun Dia tau risiko yang harus ditanggung-Nya.

Sampai kini, masih ada banyak orang mengeraskan hati melawan dan mendakwa Yesus. Kita mungkin mengalami juga situasi-situasi sulit karena status kita sebagai pengikut Yesus. Orang-orang mencari kesalahan dan memakai kesaksian kita sebagai senjata untuk menyerang. Setiap kita menderita sebagai akibat pelayanan dan kesaksian kita tentang Yesus, ingatlah bahwa Dia telah lebih dulu menanggungnya. Tetaplah menyatakan kebenaran dengan berhikmat. Ketika Yesus datang kembali kelak, kita tidak akan menghadap-Nya dalam penyesalan - ENO

MELAYANI TUHAN ADALAH SUKACITA DAN KEHORMATAN, SIAPAKAH AKU HINGGA BOLEH MENJADI HAMBA-MU?

Sumber : Renungan Harian

Popular Posts