Wednesday, December 29, 2010

Kesaksian Chuck Norris

Chuck Norris : Rencana Tuhan Lebih Besar
Dikirim oleh : Arie


Kebanyakan orang akan mengatakan, Chuck Norris telah meraih puncak sukses. Enam kali juara dunia karate, membintangi lebih dari 23 film serta menulis dan memproduksi serial populer televisi, "Walker, Texas Ranger". Namun, sukses tidak mampu menyelamatkan keluarga Norris pada malam saat mereka menghadapi krisis yang mengancam kehidupan.

Norris benar-benar merasa tak berdaya saat istrinya, Gena, melahirkan anak kembar mereka secara prematur. Namun, Norris tahu, ia dapat bersandar hanya kepada Tuhan. Ia mengenang peristiwa pada malam mencekam itu dalam otobiografinya, Against All Odds: My Story, ditulis bersama Ken Abraham, diterbitkan Broadman & Holman (2004). "Saya telah mengumpulkan jutaan dolar sepanjang hidup saya," tulisnya. "Saya bersahabat dengan beberapa presiden [AS], namun seluruh uang di rekening bank saya saat ini tidak dapat menolong. Hanya ada satu Pribadi yang kepada-Nya saya dapat berpaling." Itu adalah Tuhan. Ia telah menyertai Norris sepanjang hidupnya, dan kali ini pasti tak berbeda.

Tuhan Punya Rencana Untukmu
Charlos Ray Norris dilahirkan 10 Maret 1940 di tengah keluarga miskin. Ayahnya pecandu alkohol, dan mereka sekeluarga sudah pindah rumah 16 kali saat ia berusia 15 tahun. Ibu Norris, seorang Kristen yang teguh dan pejuang doa, tidak pernah menyerah atau membiarkan anak-anaknya menyerah di tengah kondisi sulit tersebut.


"Tuhan punya rencana untukmu," katanya kepada anak laki-lakinya setiap hari, menanamkan keyakinan dan keteguhan hati.

Iman ibunya ini merupakan teladan yang luar biasa bagi Norris muda. Ibunya pula yang bersikeras, agar mereka sekeluarga tetap ke gereja di mana pun mereka tinggal. Norris mulai mengalami hubungan pribadi dengan Yesus Kristus sejak dini, dan ia mendedikasikan kembali hidupnya kepada Kristus saat beranjak dewasa ketika ia mengikuti kebaktian Billy Graham.

Menurut Norris, ibunya terus menanamkan pengaruh yang besar bagi hidupnya. "Ia mengasihi Yesus dengan segenap hati dan jiwa, dan memastikan bahwa kami memahaminya," katanya. "Ia memengaruhi saya secara rohani dan menanamkan sikap bertanggung jawab yang saya bawa sampai dewasa. Ia selalu mengatakan, 'Tuhan punya rencana untukmu.' Semula saya tidak memahami apa maksudnya. Sekarang saya rasa saya memahaminya."

Menemukan Pengampunan
Kariernya dimulai saat ia menjadi pilot yang ditempatkan di Korea untuk belajar bela diri. Pada mulanya ia bukan orang yang kuat, dan sukses tidak diraihnya secara gampang. Namun dalam delapan tahun, Norris berhasil menjadi juara dunia. Ia merupakan orang kulit putih pertama yang menyandang sabuk hitam tingkat delapan (grand master) dalam Tae Kwon Do.


Sukses dalam karate membuatnya menanjak dan terkenal. Ia membuka sekolah-sekolah karate dan muncul di televisi. Akhirnya Hollywood pun meliriknya, dan tidak lama kemudian ia tampil dalam film pertamanya.
Namun, seiring dengan kesuksesan dan kemasyhuran, kehidupan pribadinya justru berantakan. Norris dan istri pertamanya, Dianne, bercerai setelah 30 tahun menikah. Saat dua anak laki-laki mereka beranjak dewasa dan hidup mandiri, keterpisahan itu tak ayal memengaruhi hubungan mereka. Meskipun sudah bercerai, ia dan Dianne tetap bersahabat.

Sepuluh tahun kemudian, kehidupannya berbelok tajam. Sepucuk surat dari putri yang tidak dikenalnya sampai di kotak suratnya. Pada tahun pertama pernikahannya, Norris berselingkuh saat bertugas jauh dari rumah. Ia tidak tahu bahwa pengalaman itu telah menjadikannya seorang ayah.

Sungguh sulit bagi sosok seterkenal Norris untuk mengungkapkan pergumulan dalam sebuah buku yang akan dibaca banyak orang. Namun, Norris dan istri barunya menganggap tema pengampunan sebagai bagian penting dari kisah mereka. Putri dan suaminya sekarang menjadi bagian keluarga mereka, dan kesembuhan emosi pun menjamah keluarganya – antara Norris dan ibu Deanna, antara Norris dan mantan istrinya, serta hubungan yang baru antara anak-anak laki-lakinya dan saudari tiri mereka. "Semua ini adalah kelemahan manusia; kita semua mengalaminya, kita semua berdosa," kata Norris. "Namun dalam kasus saya, dosa yang kemudian membuahkan putri saya telah diubah menjadi berkat. Saya tidak dapat membayangkan kehidupan saya tanpa dia dan anak-anaknya, tiga cucu saya."

Mengadakan Program Kickstart
Saat ini, anak-anak sangat penting bagi Norris. Setelah masa kehamilan yang sukar, Gena melahirkan dua anak kembar yang sehat - laki-laki dan perempuan, sekarang tiga tahun. Ia juga melanjutkan kiprahnya dalam program KICKSTART bagi anak-anak sekolah menengah. Semua keuntungan dari bukunya akan disumbangkan bagi program tersebut.


Lebih dari 30.000 anak telah lulus dari program - saat ini dijalankan di 37 sekolah. Meskipun fokusnya pada bela diri, program itu juga menawarkan banyak hal lain bagi anak yang mengikutinya - kebanyakan dari kawasan kumuh perkotaan. Anak-anak itu dibangun harga diri mereka.
"Banyak yang melanjutkan kuliah, dan salah satu di antara mereka baru lulus dari MIT melalui beasiswa," kata Norris bangga.

Ia sangat bersemangat dengan program tersebut, nyaris sebesar hasratnya akan kehidupan imannya. Menurut pengakuannya, ia bertumbuh semakin kuat dalam hubungan dengan Tuhan selama sepuluh tahun terakhir ini. Namun, Norris merasa frustrasi pada mayoritas orang Kristen yang enggan berbicara tentang persoalan iman.

Ia dan Gena mendorong agar Alkitab kembali digunakan di sekolah umum. Mereka juga mendukung National Council of Bible Curriculum in Public Schools, yang bertujuan memadukan Alkitab sebagai bagian dari pelajaran fakultatif sejarah dan sastra.

Lalu, apa lagi yang masih ingin dilakukan oleh bintang laga bersuara lembut ini? Sebagai anggota Prestonwood Baptist Church di Dallas, ia dan Gena berharap nantinya dapat terlibat dalam pelayanan misi bila anak-anak mereka sudah lebih besar. Mereka juga ingin terus memantapkan program KICKSTART.
"Kami rindu menolong jutaan anak dan memperlihatkan bahwa mereka tidak perlu menyerah," kata Norris. "Tantangan tidaklah terlalu tinggi untuk mewujudkan impian mereka. Saya ingin mereka menyadari kalau saya dapat mengatasi perkara-perkara dalam hidup saya, tentunya mereka juga dapat melakukan hal serupa."

Sumber: Baptist Press News (2005)


Tuesday, December 28, 2010

Nestle, Not Wrestle!

Nestle, Not Wrestle!
Author: Unknown

A few years ago I watched Billy Graham being interviewed by Oprah Winfrey on television. Oprah told him that in her childhood home, she use to watch him preach on a little black and white TV while sitting on a linoleum floor.
She went on to the tell viewers that in his lifetime Billy has preached to twenty-million people around the world, not to mention the countless numbers who have heard him whenever his crusades are broadcast. When she asked if he got nervous before facing a crowd, Billy replied humbly, “No, don’t get nervous before crowds, but I did today before I was going to meet with you.”
Oprah’s show is broadcast to twenty-million people every day. She is comfortable with famous stars and celebrities but seemed in awe of Dr. Billy Graham.
When the interview ended, she told the audience, “You don’t often see this on my show, but we’re going to pray.” Then she asked Billy to close in prayer. The camera panned the studio audience as they bowed their heads and closed their eyes just like in one of his crusades.
Oprah sang the first line from the song that is his hallmark “Just as I am, without a plea,” misreading the line and singing off-key, but her voice was full of emotion and almost cracked.
When Billy stood up after the show, instead of hugging her guest, Oprah’s usual custom, she went over and just nestled against him. Billy wrapped his arm around her and pulled her under his shoulder. She stood in his fatherly embrace with a look of sheer contentment.
I once read the book “Nestle, Don’t Wrestle” by Corrie Ten Boom. The power of nestling was evident on the TV screen that day. Billy Graham was not the least bit condemning, distant, or hesitant to embrace a public personality who may not fit the evangelistic mold. His grace and courage are sometimes stunning.
In an interview with Hugh Downs, on the 20/20 program, the subject turned to homosexuality. Hugh looked directly at Billy and said, “If you had a homosexual child, would you love him?”
Billy didn’t miss a beat. He replied with sincerity and gentleness, “Why, I would love that one even more.”
The title of Billy’s autobiography, “Just As I Am,” says it all. His life goes before him speaking as eloquently as that charming southern drawl for which he is known.
If, when I am eighty years old, my autobiography were to be titled “Just As I Am,” I wonder how I would live now? Do I have the courage to be me? I’ll never be a Billy Graham, the elegant man who draws people to the Lord through a simple one-point message, but I hope to be a person who is real and compassionate and who might draw people to nestle within God’s embrace.
Do you make it a point to speak to a visitor or person who shows up alone at church, buy a hamburger for a homeless man, call your mother on Sunday afternoons, pick daisies with a little girl, or take a fatherless boy to a baseball game?
Did anyone ever tell you how beautiful you look when you’re looking for what’s beautiful in someone else?
Billy complimented Oprah when asked what he was most thankful for; he said, “Salvation given to us in Jesus Christ” then added, “and the way you have made people all over this country aware of the power of being grateful.”
When asked his secret of love, being married fifty-four years to the same person, he said, “Ruth and I are happily incompatible.”
How unexpected. We would all live more comfortably with everybody around us if we would find the strength in being grateful and happily incompatible.
Let’s take the things that set us apart, that make us different, that cause us to disagree, and make them an occasion to compliment each other and be thankful for each other. Let us be big enough to be smaller than our neighbor, spouse, friends, and strangers.
Every day, may we Nestle, not Wrestle!
“Likewise, I say unto you, there is joy in the presence of the angels of God over one sinner that repenteth.” - Luke 15:10

Source : Sherry's Inspirational


J.C. Penney

Starting Over
Author: Unknown

Do you find yourself in humble circumstances? If so, James tells us that we are to take pride in this "high" position. These two things would seem to be an oxymoron. Most of us would not consider humble circumstances a high position. Successful business tells us that being on top means being wealthy, attaining favor and status, or having power to influence. However, Jesus influenced not from power, but from weakness.

J. C. Penney is a name synonymous with department store. He first launched his chain of "The Golden Rule" stores in 1907. In 1910 his first wife died. Three years later, he incorporated as the J.C. Penney company. In 1923 his second wife died giving birth to his son. In 1929 the stock market crashed and he lost $40 million. By 1932, he had to sell out to satisfy...creditors. This left [Penney] virtually broke. ...Crushed in spirit from his loss and his health suddenly failing, Penney wound up in a Battle Creek, Michigan sanitorium. One morning he heard the distant singing of employees who gathered to start the day with God: Be not dismayed, whate'er betide, God will take care of you.... Penney followed the music to its source and slipped into a back row. He left a short time later a changed man, his health and spirit renewed, and ready to start the long climb back at age fifty-six.

By 1951 there was a J.C. Penney store in every state, and for the first time sales surpassed $1 billion a year. [John Woodbridge, ed., More Than Conquerors (Chicago, Illinois: Moody Press, 1992), 340-343.] The success of J.C. Penney can be traced to God's mercy in his life to bring him out of his humble circumstance. Do you find yourself in a humble circumstance? God is the only one who can help you see your humble circumstance from His viewpoint-a high position. It is a high position because of what God is going to teach you in this place. He does not intend you to stay there; it is merely a stopping place to learn some important things you would not learn otherwise. Press into God and trust Him for the outcome to your circumstances.

“Humble yourselves in the sight of the Lord, and he shall lift you up.” - James 4:10 

Source : Sherry's Inspirational

Chain Of Love

Chain Of Love
© 2001 Steve Goodier

"How do you account for your remarkable accomplishment in life?" Queen Victoria of England asked Helen Keller. "How do you explain the fact that even though you were both blind and deaf, you were able to accomplish so much?"

Ms. Keller's answer is a tribute to her dedicated teacher. "If it had not been for Anne Sullivan, the name of Helen Keller would have remained unknown."

According to Jeffrey Holland (VITAL SPEECHES), "Little Annie" Sullivan, as she was called when she was young, was no stranger to hardship. She was almost sightless herself (due to a childhood fever) and was, at one time, diagnosed as hopelessly "insane" by her by caregivers. She was locked in the basement of a mental institution outside of Boston. On occasion, Little Annie would violently attack anyone who came near. Most of the time she generally ignored everyone in her presence.

An elderly nurse believed there was hope, however, and she made it her mission to show love to the child. Every day she visited Little Annie. For the most part, the child did not acknowledge the nurse's presence, but she still continued to visit. The kindly woman left cookies for her and spoke words of love and encouragement. She believed Little Annie could recover, if only she were shown love.

Eventually, doctors noticed a change in the girl. Where they once witnessed anger and hostility, they now noted an emerging gentleness and love. They moved her upstairs where she continued to improve. Then the day finally came when this seemingly "hopeless" child was released.

Anne Sullivan grew into a young woman with a desire to help others as she, herself, was helped by the kindly nurse. It was she who saw the great potential in Helen Keller. She loved her, disciplined her, played with her, pushed her and worked with her until the flickering candle that was her life became a beacon of light to the world. Anne Sullivan worked wonders in Helen's life; but it was a loving nurse who first believed in Little Annie and lovingly transformed an uncommunicative child into a compassionate teacher.

"If it had not been for Anne Sullivan, the name of Helen Keller would have remained unknown." But if it had not been for a kind and dedicated nurse, the name of Anne Sullivan would have remained unknown. And so it goes. Just how far back does the chain of redemption extend? And how for forward will it lead?

Those you have sought to reach, whether they be in your family or elsewhere, are part of a chain of love that can extend through the generations. Your influence on their lives, whether or not you see results, is immeasurable. Your legacy of dedicated kindness and caring can transform lost and hopeless lives for years to come.

You can never overestimate the power of your love. It is a fire that, once lit, may burn forever.

“But I say unto you, Love your enemies, bless them that curse you, do good to them that hate you, and pray for them which despitefully use you, and persecute you;” -Matthew 5:44 

Source : Sherry's Inspirational

Monday, December 27, 2010

Doers Not Hearers

Inspiration To Perspiration (Titus 3:1-8)

Be doers of the Word, and not hearers only. —James 1:22

My grandfathers were both gardeners and so are many of my friends. I love visiting beautiful gardens—they inspire me. They make me want to create something equally beautiful in my own yard. But I have trouble moving from the inspiration to the perspiration part of gardening. My great ideas don’t become reality because I don’t spend the time and energy to make them happen.

This can be true in our spiritual lives as well. We can listen to the testimonies of other people and marvel at the work God is doing in their lives. We can hear uplifting music and great preaching and feel inspired to follow God more diligently. But soon after we walk out of church, we have trouble finding the time or making the effort to follow through.

James described such Christians as being like those who look in a mirror, see themselves, but do nothing to fix what is wrong (James 1:23-24). They hear the Word, but it doesn’t lead to action. James says we need to do—not just hear.

When we move from the inspiration of simply “hearing” about the good being done by others to the perspiration of actually “doing” good works ourselves, the implanted Word of God (1:21) will bloom into a beautiful garden of spiritual fruit. —Julie Ackerman Link

I’d rather see a Christian
Than to hear one merely talk;
I’d rather see his actions
And behold his daily walk. —Herrell

Life works best when we do.

Source : Our Daily Bread

Amazing!

Amazing! (Matthew 1:18-25)

Then Joseph, being aroused from sleep, did as the angel of the Lord commanded him and took to him his wife. —Matthew 1:24

The Christmas story, recorded in Matthew and Luke, has become so familiar that I wonder if we grasp the reality of what actually happened: An angel told a young virgin that she would conceive a child by the power of the Holy Spirit (Luke 1:26-38). The angel then told her fiancé to marry her and name the baby Jesus, “for He will save His people from their sins” (Matt. 1:21). Shepherds saw angels in the sky and were told of a Savior’s birth in Bethlehem (Luke 2:11). Wise men traveled hundreds of miles to worship the One who, they said, “has been born King of the Jews” (Matt. 2:2). Amazing!

Equally astonishing is that Mary, Joseph, the shepherds, and the wise men did exactly as they had been told. Mary yielded herself to God; Joseph took her home as his wife; the shepherds went to Bethlehem to find the baby in a manger; and the wise men followed the star. With no idea of the outcome, they all took the next step by faith in the Lord. Amazing!

How is it with us this Christmas? Will we trust God and follow His leading even when we face uncertainty and overwhelming circumstances?

When you and I obey the Lord, the outcome is truly amazing! —David McCasland

To follow the leading of God,
To step out in faith and obey,
Is always the path we should take
Whenever we can’t see the way. —Sper

Faith never knows where it is being led, but it loves and knows the One who is leading. —Chambers

Source : Our Daily Bread

Obey Him

He Says, We Say (James 1:21-27)

Love the Lord your God, . . . obey His voice. —Deuteronomy 30:20

As my wife reviewed her day, she told me about an incident that took place with our granddaughter Eliana, who was visiting. Eliana had been playing with some toys, so when she wanted to go to another part of the house, Grandma told her, “Eliana, you need to put your toys away first.” Without missing a beat, Eliana replied, “I don’t have time.”

She was just 2 years old at the time, so she was definitely not running on a packed schedule!

I wonder sometimes if God might be a bit surprised with us when He hears our responses to His commands.

For instance, when Jesus says, “Come to Me, all you who labor and are heavy laden” (Matt. 11:28), and we say, “I can’t go on. I have too many troubles and problems,” I wonder what He thinks. When He says, “Be still, and know that I am God” (Ps. 46:10), and we say, “I can’t fit You into my schedule,” I wonder what He thinks. When He says, “Be holy, for I am holy” (1 Peter 1:16), and we say, “But the world looks like so much fun,” I wonder what He thinks.

God has spoken. Obedience is the best way to honor Him for what He has done for us and to show Him how much we love Him. —Dave Branon

Master, speak, and make me ready,
When Thy voice is truly heard,
With obedience glad and steady,
Still to follow every word. —Havergal

Our desire to please God is our highest motive for obeying God.

Source : Our Daily Bread

The True Owner

The True Owner (Psalm 95:1-7)

All things were created through Him and for Him. —Colossians 1:16

Did you hear about the church that didn’t have enough room for parking? Fortunately, it was located right next to a store that was closed on Sundays, so a church member asked the store owner if they could overflow into his parking lot. “No problem,” he said. “You can use it 51 weeks out of the year. On the 52nd week, though, it will be chained off.” The man was grateful, but asked curiously, “What happens that week?” The store owner smiled, “Nothing. I just want you to remember that it’s not your parking lot.”

It’s easy to take for granted all the material and spiritual blessings that God has given us. That’s why we need to stop and remember that Scripture says the true owner of all we possess is God: “All that is in heaven and in earth is Yours; Yours is the kingdom, O Lord, and You are exalted as head over all” (1 Chron. 29:11). Even our bodies do not belong to us: “Do you not know that your body is the temple of the Holy Spirit . . . and you are not your own? For you were bought at a price” (1 Cor. 6:19-20).

As 1 Timothy 6:17 reminds us: “God . . . gives us richly all things to enjoy.” We are so abundantly blessed with good things! Let’s never take our Father for granted, but use wisely and gratefully all that He has given us. —Cindy Hess Kasper

As we all enjoy God’s blessing,
Oh, may we not forget
Our Lord, from whom all good gifts come—
In Him our needs are met. —Fitzhugh

God gives blessing to us so we can give glory to Him.

Source: Our Daily Bread

5 Dampak Kemunafikan

5 Dampak Kemunafikan
Kotbah : Pdt. Gilbert Lumoindong
Disarikan oleh : Deny S Pamudji

Hal yang paling dibenci Yesus ialah kemunafikan dan kemunafikan pasti mendapat hukuman (Matius 23:13-28) dan Yesus selalu memperingati kita agar jauh dari kemunafikan (Lukas 12:1-2)

Adapun dampak kemunafikan :
1. Kemunafikan membawa kehancuran dalam hubungan (Galatia 2:11-14)
2. Kemunafikan membuat kita tidak bisa melihat kesalahan diri sendiri (Matius 7:3-5)
3. Kemunafikan membuat kita tidak bisa dipercaya (Matius 22:15-22)
4. Kemunafikan menghambat kita dalam menerima jawaban doa (Matius 6:15)
5. Kemunafikan menghambat pertumbuhan rohani (1 Petrus 2:1)

Dengar kotbahnya di : Light Generation

Wednesday, December 22, 2010

Marvelous Love

Marvelous Love
by Bill Bright

On a cold Christmas Eve in 1952, when Korea was in the throes of civil war, one young woman struggled along a village street, obviously soon to deliver a child. She pleaded with passersby,

"Help me! Please. My baby."

No one paid any attention to her.

A middle-aged couple walked by. The wife pushed away the young mother and sneered,

"Where's the father? Where's your American man now?"

The couple laughed and went on.

The young woman almost doubled up from a contraction as she watched them go.

"Please . . ." she begged.

She had heard of a missionary living nearby who might help her. Hurriedly, she began walking to that village. If only he would help her baby. Shivering and in pain, she struggled over the frozen countryside. But the night was so cold. Snow began to fall. Realizing that the time was near to deliver her baby, she took shelter under a bridge. There, alone, her baby was born on Christmas Eve.

Worried about her newborn son, she took off her own clothes, wrapped them around the baby and held him close in the warm circle of her arms.

The next day, the missionary braved the new snow to deliver Christmas packages. As he walked along, he heard the cry of a baby. He followed the sound to a bridge. Under it, he found a young mother frozen to death, still clutching her crying new born son. The missionary tenderly lifted the baby out of her arms.

When the baby was 10 years old, his now adoptive father told him the story of his mother's death on Christmas Eve.

The young boy cried, realizing the sacrifice his mother had made for him.

The next morning, the missionary rose early to find the boy's bed empty. Seeing a fresh set of small footprints in the snow outside, he bundled up warmly in a winter coat and followed the trail. It led back to the bridge where the young mother had died.

As the missionary approached the bridge, he stopped, stunned. Kneeling in the snow was his son, naked and shivering uncontrollably. His clothes lay beside him in a small pile. Moving closer, he heard the boy say through chattering teeth:

"Mother, were you this cold for me?"

That story reminds me of another mother and Son who sacrificed so much. One winter night, Jesus left his home, His glory and the warmth of heaven to be born in a stable to an unwelcome world. Just before He was born, Mary, His mother, was not welcome in any of the cozy inns in Bethlehem. Instead, she delivered her baby in the darkness of a cold stable. The Creator of the Universe, the Perfect Judge who could destroy the world with a single word, was willing to endure this inauspicious beginning for you and me. That is unconditional love!

We who have experienced God's unconditional love are commanded to share that love with others. John writes in 1 John 4:11,

"Dear friends, since God loved us that much, we surely ought to love each other" (New Living Translation).

God wants us to express His supernatural love to others. We become examples of God's love to the world as we love our neighbors through the enabling of His Holy Spirit.

My prayer for you is the same as Paul's prayer for the believers in Ephesians 3:17,18:

"May your roots go down deep in to the soil of God's marvelous love. And may you have the power to understand, as all God's people should, how wide, how long, how high, and how deep His love really is" (NLT ) .

You may confess, "I don't have that kind of love to share with anyone." To experience God's supernatural love, claim it by faith. We have the potential to love anyone God puts in our path. One of the greatest lessons I have learned in my Christian life is "how to love by faith."

When we by faith invite God's unconditional love to flow through us, we will discover a rekindled love that is alive and well. That is true for an "unlovable" spouse, boss, employee, or anyone.

Nothing breaks the hardened ground of unforgiveness and bitterness like sincere acts and words of love. Sometimes you and I, by faith, must take the first step of restoration. A positive response may not be immediate, but keep on loving and reaching out. There is no power on earth stronger than God's supernatural love.

Would you like to know Jesus?
You can have peace and find hope and know forgiveness through a personal relationship with Jesus Christ.

You can receive Christ right now by faith through prayer. Praying is simply talking to God. God knows your heart and is not so concerned with your words as He is with the attitude of your heart. Here's a suggested prayer:

Lord Jesus, I want to know You personally. Thank You for dying on the cross for my sins. I open the door of my life to You and ask You to come in as my Saviour and Lord. Take control of my life. Thank You for forgiving my sins and giving me eternal life. Bring peace to my world this Christmas. Make me the kind of person You want me to be.

If this prayer expresses the desire of your heart, pray it right now and Christ will come into your life as He promised. If you invited Jesus Christ into your life, thank God often that He is in your life, that He will never leave you and that you have eternal life.

Source : Thoughts About God

Masih Ada Esok?

Masih Ada Hari Esok ….
Dikirim oleh : A.S. Wiguno

Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu mengangap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, mengganggu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya.

Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar aja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa- apa, besok kan bisa."

Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia ketemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah,aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar.

Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya. Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dalam membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya,karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya."

Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan perpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.

Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku cinta kamu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya.

Tapi, dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Saat mulai renta, Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, Dia meninggal dunia dengan airmata dipipinya.

Ketulusan

Ketika Nenek "Gila" Itu Meneteskan Air Mata
Oleh Gurgur Manurung
Sinar Harapan, Sabtu, 21 Agustus 2004, halaman 11

Beberapa bulan yang lalu aku menjaga ibu di salah satu rumah sakit swasta di Balige. Pada pukul 2 pagi, datang pasien baru di kamar tempat ibuku dirawat. Pasien baru itu berumur 50 tahun dan diantar seorang anak kecil berumur 10 tahun dan duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Sebelum pasien baru itu masuk, jumlah pasien di kamar itu 4 orang, dan semuanya perempuan dengan umur rata-rata 50 tahun.

Pasien baru itu hanya membawa tas kecil yang isinya sepasang baju tanpa membawa persediaan tempat minum, selimut, sisir, atau perlengkapan lainnya. Pada pukul 4 pagi, dia menyanyikan lagu-lagu gereja dengan fasih, tetapi fals. Tingkah lakunya itu mengusik pasien yang ada di kamar itu, apalagi pasien yang dekat dengannya. Kami agak jauh darinya. Sambil menyanyi, dia menggigil karena kedinginan dan memanggil-manggil nama Tuhan.

Melihat si pasien baru itu kedinginan, aku seorang yang masih sangat muda memberikan selimut, walaupun ibuku tidak menyetujuinya dengan alasan supaya aku dapat merawat ibu dengan baik. Maklum, udara Balige amat dingin saat itu. Ketika aku berikan selimutku, dia pun memegang tanganku dan mencubit pipiku dengan gemas.

Pada pukul 5 pagi, aku berdoa dan membaca Alkitab. Sampai pukul 5.30 setelah selesai aku berdoa, semua pasien dan penjaga masih tertidur lelap. Aku melihat anak kecil yang membawa si nenek itu tidur meringkuk di lantai karena kedinginan. Aku sangat kasihan melihatnya dan akupun memberi baju hangatku yang masih kupakai, karena kupikir aku akan lari pagi yang nantinya akan hangat setelah berlari.

Pada saat aku berlari, udara Balige teramat dingin dan akupun sempat menggigil karena dinginnya luar biasa. Di tengah jalan, aku minta dibuatkan air teh hangat di sebuah kantin. Setelah aku pulang ke rumah sakit, para pasien dan penjaga telah terbangun dan para mahasiswa perawat praktik sibuk membersihkan lantai. Aku duduk santai di pekarangan rumah sakit yang persis di depan kamar ibuku dirawat.

Si nenek itu menghampiri dan mengajakku bernyanyi lagu-lagu gereja sambil tepuk tangan. Jujur saja, nenek itu jorok, bau, dan rambutnya urakan, kakinya kotor, dan kukunya panjang. "Bapa Manurung (panggilan si nenek kepada aku), ayo kita menyanyi," katanya. Hampir semua orang yang melihat kami merasa jengkel. Anehnya, pasien yang dekat si nenek menuduh aku yang membuat semua itu terjadi. "Manurung, semua itu karena kamu terlalu memanjakan si nenek gila itu," kata ibu itu. Ibuku menjadi marah padaku, karena ibuku menganggap aku batu sandungan.

Bagiku tidak masalah tudingan orang, pada dasarnya di mataku semua orang sama. Aku tidak lebih hormat kepada pejabat, pendeta, orang kaya, atau siapapun jika dibandingkan rasa hormatku terhadap orang gila. Semua saudaraku dan ibuku tahu sifatku itu.

Aku sering protes kepada Tuhan dan kukatakan, Tuhan, jika Kamu mengasihiku, mengapa Engkau sepertinya tidak mengasihi orang gila itu? Walaupun protes, aku harus hormat kepada keputusan Tuhan atas dunia ini. Setelah tiga hari, nenek itu diprotes oleh yang satu kamar. Akhirnya, pihak rumah sakit memindahkannya ke ruangan khusus.

Pada saat akan pergi ke ruang khusus, si nenek bertanya,"Bapa Manurung, aku bawa selimutmu dan bajumu yang sangat bagus ini ya," katanya dengan penuh harap.

Aku mengiyakan dengan rasa haru yang mendalam. Aku ikut mengantarnya sambil melipat selimut dan bajunya yang bau. Dalam hatiku, aku protes kepada perawat yang tidak membersihkan si nenek dengan baik. Perawat enggan merawat dengan alasan keluarganya saja tidak peduli dan banyak protes lagi.

Setelah di ruang khusus, si nenek masih tetap berulah dan selalu keluar ruangan dan memanggilku kembali untuk menyanyikan lagu-lagu gereja. Si nenek semakin bertingkah. Si nenek bilang rumah sakit itu akan diajukan ke pengadilan karena tidak serius menanganinya. Makin hari si nenek makin suka berteriak dan membeberkan perilaku perawat terhadapnya selama di ruang khusus.

Anehnya lagi, dia tidak mau diam jika bukan aku yang mendiamkannya dengan lembut dan tulus. Jika mau jujur, aku tulus memberi kasih kepada nenek itu. Sementara itu, perawat dan mahasiswa praktik sudah semakin jengkel melihat tingkah si nenek. Si nenek selalu teriak bahwa dia akan mengajukan perilaku para perawat itu ke direktur rumah sakit.

Aku selalu berusaha menyadarkan para perawat dan mahasiswa praktik tidak perlu menanggapi teriakan si nenek. Kelihatan sekali mahasiswa akademi perawat itu mau menurutiku karena direktur mereka di kampus adalah sahabat karib aku pada waktu mahasiswa dulu.

Aku agak ragu melihat ketulusan di hati mereka untuk merawat si nenek itu, apalagi sudah 5 hari di rumah sakit, tak seorangpun keluarganya menjenguk. Pihak rumah sakit pun mulai curiga, bagaimana dan siapa yang menanggung biaya rumah sakit.

Melihat keadaan itu, pada hari keenam aku mulai menanyakan kepada anak kecil yang kelas 4 SD itu tentang perihal tempat tinggal dan latar belakang mereka. Ternyata mereka berasal dari Desa Muara Kabupaten Tapanuli Utara (TAPUT). Menurut anak kecil itu, si nenek memiliki banyak pohon mangga, anak perempuanya masuk saksi Yehova dan sedang sakit tumor ganas dan tergeletak di rumah, menantunya tiga bulan yang lalu meninggal bunuh diri karena ditinggal suaminya pergi ke Tanjung Pinang, Provinsi Riau.

Aku sangat kaget mendengar cerita anak kecil itu. Setelah anak kecil itu bercerita, dia minta aku untuk mengantarnya ke pelabuhan Danau Toba karena masyarakat dari Desa Muara akan datang ke Balige. Anak kecil itupun permisi kepada si nenek dan si nenek berpesan agar anak kecil itu menitipkan mangga kepada aku.

Ketika kami tiba di pelabuhan Danau Toba, masyarakat Muara yang hadir di situ menanyakan dengan siapa anak kecil itu berada di situ dan kaum bapak sangat curiga dengan keberadaan aku. Anak kecil itu menceritakan semuanya dan seorang perempuan separuh baya menanyakan siapa yang bertanggung jawab tentang hal biaya pengobatan kepada aku. Kebingungan menghantui pikiranku dan semakin tidak mengerti tentang keadaan yang sebenarnya.

Anehnya, mereka sangat marah kepadaku dan akupun hanya berserah kepada Tuhan. Aku menjelaskan keberadaanku dan meminta salah satu dari keluarga terdekat untuk membicarakan semuanya dengan pihak rumah sakit, tetapi di antara mereka tidak ada yang mengaku keluarga dekat.

Kapal sudah mulai berbunyi menandakan kapal menuju Muara akan segera berangkat. "Tulang (panggilan anak kecil itu kepadaku) aku mau pulang supaya aku bisa sekolah besok," katanya. Aku melihat kesedihan di wajah anak kecil itu, aku pun memeluknya dan mengatakan supaya rajin belajar. Aku melambaikan tanganku ke anak kecil itu sambil berdoa, "Tuhan, pakailah anak itu menjadi berkat". Aku sangat mengasihi kepada anak kecil itu.

Pada hari ke-10, seorang perempuan separuh baya secara sembunyi-sembunyi mendekati nenek itu. Dia sangat terkejut ketika melihat aku tiba-tiba masuk ke kamar si nenek.

Mungkin pikirannya aku adalah pihak rumah sakit. Aku menerka bahwa perempuan separuh baya itu keluarganya yang ketakutan jika membicarakan biaya rumah sakit. Perempuan itu rupanya hendak membawa nenek pulang.

Dengan lembut aku meminta supaya perempuan itu mau menemaniku untuk membicarakan hal ini dengan pihak rumah sakit, apalagi rumah sakit itu adalah milik institusi gereja besar di Balige. Setelah pembicaraan yang amat panjang, perempuan itu bersedia membayar 25% dari keseluruhan biaya dan pihak rumah sakit milik yayasan gereja itupun menyetujuinya.

Sebelum mereka pulang, aku meminta supaya kami berdoa dulu. Setelah berdoa, aku mengantarkan mereka ke pintu rumah sakit dan nenek itu menanyakan,"Bagaimana dengan selimut dan bajumu Bapa Manurung?" Aku mengatakan, dengan ketulusan hatiku, bawalah dan buatlah itu sebagai kenangan yang indah. Nenek itu memelukku dan meneteskan air matanya. "Selamat jalan, nek."

Aku menghampiri ibuku yang sakitnya 70% sembuh. Dia mengatakan, "Apa kerjamu di Jakarta, pantaslah kamu anak perantau yang paling miskin, padahal sekolahmu jauh lebih tinggi dibandingkan anak-anak di kampung kita."
Aku menjawab dengan lembut, "Bukankah segala-galanya kutinggalkan demi merawat mama? Bukankah banyak orang lebih mementingkan uang dari merawat ibunya? Bukankah orang membangun kuburan yang mahal, padahal semasa hidupnya diabaikan? Coba, anak mama tidak peduli segalanya demi merawat mama."

Ibukupun memelukku dan menagis. Aku berkata dengan penuh kasih sayang, "Mama, mulai saat ini serahkanlah hidupmu sepenuhnya kepada Tuhan, sebab mama kemarin Haemoglobin (Hb) cuma 2, Sekarang sudah sehat. Terpujilah nama Tuhan."

The Marriage Of The Lamb

The Marriage of the Lamb
Sent by : Amazing Grace
by Dr. John Ankerberg with Dr. Randall Price, Dr. Zola Levitt and Dr. Renald Showers

"Let us rejoice and be glad and give him glory! For the wedding of the Lamb has come, and his bride has made herself ready" (Rev. 19:7)

Dr. John Ankerberg: Welcome! Welcome. We're here in warm and wonderful Dallas, Texas with a wonderful audience today and we're glad that you've joined us today. We're going to start with a topic that is dear to the heart of all Christians across the country, and that is the doctrine of the Rapture. Very few non-Christians know that Jesus Christ said that He was coming back when He was here the first time. They know about the fact that He was born in Bethlehem and the Christmas story, but they have very little recollection about the fact that Jesus said He would come again. So it's brand new stuff.

Now, concerning those that believe in a sense that at the time Christ comes to establish His Millennial Kingdom and rescue Israel and establish His righteousness on earth, if that were true, and we were to meet Christ in the air, make a "U" turn and come down, why is it that at that point John 14:1,2 enters into our discussion?

Dr. Randall Price: Because in John 14:1,2, Jesus is giving a word of assurance to His disciples. He's saying, "I'm not going to leave you alone as orphans in this world. If I go, I go to prepare a place for you and I will come again and receive you unto myself, that where I am, there you may be also." And so there is a place prepared to which believers on this earth, the church, the Body of Christ, must be taken. He will come and take them to that place. There's no sense in which they will meet Him and then come to the earth first and then go to that place. The next promise that He has made for His church is that He will take them personally Himself to that place of promise.

Ankerberg: Zola, we're so glad that you're here. I mean, we talk about these things that are really Jewish in nature and Jesus was talking to other Jews and especially that one about John 14:1,2, "I'm going to prepare a place for you; I'm going to come again and receive you unto myself." He's got other things that talk in terms of a Jewish wedding. Would you fill us in and tell us why you believe it applies to the Rapture.

Dr. Zola Levitt: Yes. It's a very romantic statement. Every culture had its own custom of matrimony, and in Israel in Jesus' time, a wedding was a two-part thing. There was a going away. First, the bridegroom came to the bride and he brought a contract of marriage. That was the first date, the proposal. There was no dating under Jewish law. Oh, they thought nothing of marrying strangers. In "Fiddler on the Roof" in one of the songs it says, "The first time I saw you was on our wedding day." Rebecca married a stranger.

Really, the bridegroom comes and brings a contract—money, a price for the bride; that was the custom—and he pours a cup for her. If she'll pick up that cup and drink it, as they did at the Passover table that night of John 14, then it's "Yes." But he doesn't say, "Then come with me" and they go to the rabbi and get married. He says, "I go to prepare a place for you."

He leaves; he goes back to his father's house and he builds her a little mansion, a bridal chamber, for their honeymoon. His father is the judge on when this is done. So if you asked the young man, "When is the big day?" he would say, "I don't know; only my father knows."

There are many clues in Scripture that the Lord did all these things and on purpose. We're in the "going away." He's building this mansion in Heaven—you characterized it perfectly. It's a honeymoon chamber. It's a bridal chamber. And when His Father says the time is right, then He will come and, as you said, "like a thief." It is sudden but it is not unexpected. The bride is engaged. She's been going around getting her trousseau.

Dr. Renald Showers: Jesus, the night before He went to the cross, gathered with His apostles in the upper room. At the end of chapter 13 of the gospel of John where we have the record of this gathering, Jesus forewarned His disciples that He would leave them soon. That really caused them to be disturbed. In order to calm their fears He made a great promise to them in John chapter 14:1-3. This is what He said: "Let not your heart be troubled. You believe in God believe also in Me. In My Father's house are many mansions. If it were not so I would have told you. I go to prepare a place for you. And if I go and prepare a place for you I will come again and receive you unto Myself so that where I am there you may be also."

Now Jesus was referring here to a future coming of His and we are convinced that He is talking here about His coming to rapture the church from the earth. How do we know that He is referring here to His coming to rapture the church instead of His Second Coming after the end of the great tribulation? Well, for one thing He indicates here that when He comes, He will receive the believers unto Himself. Notice in this coming He's not coming to come down to where they are and live where they are. In other words, He's not the only one that's going to be moving here. He's going to be removing them from where they are to be where He is. And so He says here, "I will come again and receive you unto Myself."

And then notice the purpose of this coming, it's a purpose clause—that where I am there you may be also. He's saying here the whole purpose of My coming in this particular coming I'm referring to is so that you can be where I am not so that I can be where you are. So He's not saying in this coming "come so I can live where you are on the face of the earth," but "I'm going to come in this coming so that you can be where I am," namely in the Father's house. And the very fact that He ties this promise in with the concept that He's going to be preparing dwelling places for them in the Father's house in Heaven strongly infers that when He receives them to Himself He's going to take them back to live with Him in those dwelling places in the Father's house in Heaven. This is definitely a Rapture passage.

Now, you and I who live in this twentieth century world do not catch the full impact of the promise that Jesus made here and the reason we do not is because in delivering this promise Jesus inferred in analogy with the way which Jewish people conducted their weddings in Bible times. The first major step in a Jewish wedding between a young man and young woman in Bible times was the establishment of the marriage covenant. The Jews called the establishment of such a covenant betrothal or espousal.

Usually the way that covenant would be established was as follows: the groom would leave his father's house and travel to the home of his prospective bride. By analogy Jesus over 1900 years ago left His Father's house in Heaven and traveled to the home of His prospective bride, the church, here on planet earth.

When the Jewish bridegroom would arrive at the bride's home, he would come for the purpose of establishing a marriage covenant and in order to establish that covenant he had to pay a purchase price. Jewish young men had to buy their wives in Bible times. By analogy when Jesus came in His first coming to the earth He also came for the purpose of establishing a covenant, a covenant through which He would obtain His bride, the church. And the covenant He came to establish is the one that the Bible calls the New Covenant. And He did that when He died on the cross and He too had to pay a purchase price in order to establish that covenant and through that purchase price to obtain His bride, the church.

The purchase price that Jesus had to pay was the shedding of His own life blood. That's why Paul at the end of 1 Corinthians 6 says, "What, know ye not you're not your own; you've been bought with a price. Therefore glorify God in your body and spirit."

After the Jewish bridegroom had established the marriage covenant at the bride's home and thereby had obtained his bride to be his wife, he would leave her at her home and would return to his father's house and they would remain separated for a period of time—normally for approximately one year. And during that year of separation the Jewish bridegroom would be busily engaged in his father's house preparing living accommodations to which he could bring his bride later on. By analogy Jesus, less than two months after He established the new covenant through the shedding of His blood on the cross of Calvary, left the home of His prospective bride, the church, here on planet earth, and on the day of His ascension He returned to His Father's house in Heaven. And He's been away ever since

And you and I right now are living in the period of separation between the time of His departure and the time of His return. And as He promises here in John 14, while He is away from us in the Father's house in Heaven right now, He's busily engaged preparing living accommodations or mansions to which He can bring His bride, the church, later on.

The Jewish bridegroom at the end of the year of separation would come on an unannounced night to take his bride to be with him. The bride never knew exactly what night he would come. She knew it would be some night near the end of the year of separation but she never knew exactly when. And so on that unannounced night the Jewish bridegroom would call to himself at his father's house his best-man and other male escorts and together those young men would begin a torchlight procession through the streets of the city from the groom's father's house over to the home of the bride.

Here was the bridegroom coming to take his bride to be with him. As those young men would be weaving their way through the streets of the city, bystanders recognizing what was happening, would pick up a shout, "Behold the bridegroom comes." That shout would be carried from block to block to block until finally it would arrive at the bride's home. The major purpose of that shout was to forewarn the bride to the effect that she'd better get ready in a hurry because tonight was the night and her groom was already on his way to take her to be with him.

As soon as she would hear that shout, she sent out word to her bridesmaids to come to her home, get her dressed in her bridal garment and all prepared because this was the night. Now by analogy the Bible teaches that at the end of the present period of separation from Christ in which we are now living, Jesus, too, will come from the Father's house in Heaven toward the earth, toward the home of His bride here on the earth, at an unannounced time. The Bible makes it clear that nobody living on planet earth knows exactly when the Lord Jesus will come for His bride, the church. It's an imminent event. It could happen at any moment. In fact, it could even happen today.

And the Scriptures also teach by analogy that when Jesus will come, at that unannounced time for His bride, He, too, will come with an escort. Paul, in 1 Thessalonians chapter 4 refers to one great archangel who apparently will be the escort for the Lord Jesus from the Father's house in Heaven. And Paul also indicates in 1 Thessalonians 4 that just as the Jewish bridegroom's coming was accompanied by a loud shout so Jesus' coming will be accompanied by a loud shout.

And I surmise that the content of that shout will be the same, "Behold, the bridegroom comes." Now interestingly, when the Jewish bridegroom came on that unannounced night, he and his male escorts would wait outside the bride's home until she was ready, and then she and her bridesmaids would come out of her home and meet her groom and his male escorts in the streets of the city. By analogy Paul tells us in 1 Thessalonians 4 when Jesus comes for His bride, the church, He will not come the whole way down to planet earth where His bride is living. He will stop outside the earth in the air and wait there, and then His bride, the church, will come out and meet Him in the streets of the city.

After the Jewish bride would come out of her home with her bridesmaids and meet her bridegroom and his male escorts, now the enlarged wedding party would have a return torchlight procession back to the groom's father's house. By analogy, after Jesus has caught up His bride, the church, from the earth to meet Him in the air, we are convinced in light of this passage in John 14 that He will return with His bride from the air above the earth back to His Father's house in Heaven to begin living in the living accommodations He's prepared there.

After the Jewish bride and groom arrived at the groom's father's house, they went into hiding privately into a room that the Jewish people called the huppah, in English that means the bridal chamber and there in the privacy of that room, they would enter into physical union with each other for the first time and thereby consummate their marriage.

Now intriguingly they would stay hidden in that bridal chamber for seven days. This is known therefore in the Jewish encyclopedia as the seven days of the bridal chamber. And then at the end of the seventh day, the groom would come out of hiding from the bridal chamber and he would bring his bride out of hiding with him out in the open with her veil removed so that everyone could see who his bride truly was.

Now by analogy with this aspect of the Jewish marriage customs, after Jesus and His bride, the church, will arrive by Rapture at His Father's house in Heaven, He and His bride will also go into hiding for a period of seven, but in this instance for seven years. For while the seven year tribulation period will be transpiring down here on planet earth, Jesus and His bride, the church, will be hidden away from the view of everyone who is still living down here; they will be hidden away in the Father's house in Heaven.

But finally at the end of the seventh year of the tribulation period, Christ will come out of hiding from the Father's house in Heaven in His glorious Second Coming, this time the whole way down to planet earth to take over the rule of the earth on behalf of God. And when He will come out of hiding at that time, He will bring His bride out of hiding with Him from the Father's house in Heaven, now out in the open on full public display so that everyone who's still living here on planet earth can see who His bride, the church, truly is.

Cincin Emas

Cincin Emas
Dikirim oleh : Haryo

Suatu pagi Zhi Zhou mendatangi Zun-Nun dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa guru berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amatlah penting, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain."

Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Zhi Zhou, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?" Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keeping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."

"Cobalah dulu anak muda, Siapa tahu kamu berhasil."

Zhi Zhou pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang sayur, penjual daging dan ikan. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, Zhi Zhou tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga sepuluh keping emas. Rupanya nilai cincin ini sepuluh kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar." Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas".

"Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat hingga ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya, dan itu butuh proses. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas.”

Bang

dr. Benjamin Solomon Carson adalah seorang dokter ahli bedah syaraf anak. Beliau hadir untuk berbicara di tahun 2004 ini untuk berbicara mengenai konsep Kerohanian. 

Menurut dr. Carson, semua orang ingin memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang yang besar dalam satu upaya saja. Dalam istilah dunia finansial, kita namakan ini "Big Bang (for the) Buck". Banyak yang ingin mendapatkan big bang for the buck. Tetapi beliau menjabarkan bahwa dirinya percaya bahwa untuk menghasilkan buck (uang kertas) kita harus menerapkan BANG. Ini adalah singkatan sebagai berikut.

Bang (B = Bravery)
Untuk bisa mendapatkan uang banyak, ada resiko yang harus ditempuh dan seringkali ini memerlukan keberanian. Beliau bercerita bahwa ketika beliau masih baru bertugas sebagai ahli syaraf (beliau menjadi kepala bedah syaraf di John Hopkins pada usia 33 tahun, jadi ini jauh sebelum itu) beliau selalu mengambil kasus - kasus yang simple. Yang tidak ada resiko orang meninggal dunia. Tidak ada resiko mempertaruhkan popularitas atau nama baik pribadi maupun institusi. Hingga pada suatu hari beliau mendapatkan pasien seorang anak gadis berusia 12 tahun yang selalu mengalami kejang. Jadi bukan tipe kejang yang sewaktu - waktu kumat, melainkan kejang yang permanen.

Semua orang di John Hopkins melarang beliau melakukan pembedahan yang memiliki resiko menyembuhkan sang pasien (dan mungkin juga membunuhnya) dengan cara mengambil separuh dari otak kiri si anak. Mengapa? Resiko! Tetapi pada saat supervisornya pergi menghadiri meeting di luar negeri, dr. Carson dan teman - temannya melakukan operasi itu. Jadi, dia lakukan operasi itu bersama dengan teman-temannya. Hasilnya, anak itu berhenti kejang seketika, dan berangsur-angsur hidup secara normal setelah belajar memindahkan fungsi otak kirinya ke otak kanannya. Dia berhasil memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak itu dan keluarganya karena dia berani.

bAng (A = Analytical)
Dalam hal apapun juga yang kita lakukan, selalu tanyakan empat pertanyaan ini sebagaiman dr. Carson melakukannya dalam kasus di atas :
Apa hal terbaik yang terjadi bila dia MELAKUKAN operasi itu.
Apa hal terburuk yang terjadi bila dia MELAKUKAN operasi itu.
Apa hal terbaik yang terjadi bila dia TIDAK melakukan operasi itu.
Apa hal terburuk yang terjadi bila dia TIDAK melakukan operasi itu.

Sama dengan kita semua. Selalu tanyakan hal ini. Benjamin Franklin, penemu listrik sekaligus bapak post Amerika selalu membelah sebuah kertas kosong menjadi dua, dan menuliskan apa manfaatnya bila dia berbuat sesuatu di sisi kiri kertas, dan apa kerugian dari perbuatan itu dituliskan di sisi kanan kertas.
Tanyakan hal ini dan mungkin anda telah menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi anda sendiri dan bagi orang lain.

baNg (N = Nice to people)
dr. Carson berkata, bahwa banyak orang berkata dalam profesi beliau sebagai dokter, tidak boleh dekat secara emosional kepada orang lain. Itu sebabnya dari semua profesi yang ada di dunia ini, profesi dokter adalah profesi yang paling salah dimengertikan sebagai arogan karena seperti ada tuntutan bahwa selama "saya" adalah seorang dokter maka "saya" tidak boleh dekat secara emosional kepada orang lain.

dr. Carson pernah mendapatkan seorang pasien anak kecil dimana beliau menjadi dekat dengan anak ini beserta keluarganya. Saat pembedahan dilakukan semua berjalan normal, hingga sesampainya beliau di rumah pager beliau berbunyi. Isi beritanya, pasien tadi mendadak berhenti bernafas. dr. Carson kembali di rumah sakit dan menangis sekeras-kerasnya.

Apa kira-kira yang terjadi kemudian? Orang tua anak itu mulai menebarkan berita, "bila ingin anak anda dirawat dengan baik dan tidak malpraktek, cari dr. Carson. Dia begitu sayang dan peduli pada anak kami, tidak seperti dokter lain yang tidak peduli terhadap pasien dan hanya ingin mencari uang saja".

dr. Carson dengan tulus bersikap nice to people dan dia mendapatkan banyak pasien (dan uang) dari hal itu. Dan yang jelas dengan banyaknya pasien yang dapat dia layani, ada lebih banyak pula orang - orang yang telah dibantunya mencapai kehidupan yang lebih baik.

banG (G = GOD)
Di tahap ini dr. Carson banyak bersaksi mengenai hidupnya, bagaimana sewaktu kecil dia ingin menjadi dokter misionaris, tetapi karena keluarganya sangat miskin sehingga beralih cita - cita menjadi dokter anak supaya cepat kaya. Dan ketika sudah kaya, beliau tidak lupa akan Tuhan yang sudah menolongnya. Pada saat itu beliau bahkan banyak melemparkan banyolanl tentang orang-orang yang saat bekerja melupakan Tuhan, dan/atau saat berTuhan ria lupa bekerja !!!

Suatu hari beliau ingin menolong dua orang bayi kembar siam dari asia. Karena keluarga anak ini tidak mampu, beliau minta bantuan kepada rumah sakitnya. Oleh direktur rumah sakit yang konon kabarnya pelit luar biasa dan tidak peduli terhadap sesama, ditolak. Mengapa ditolak? Sang direktur menjawab "Meskipun kamu boleh menyumbangkan tenagamu, tetapi kamu tidak bisa meminta orang lain dan rumah sakit untuk menyumbang juga.".

dr. Carson menjawab, "Kalau begitu saya akan buat sebuah yayasan untuk menampung dana dan tenaga orang-orang untuk membiayai operasi seperti ini".
Sang direktur menjawab "Baik, saya anggota dan donatur kamu yang pertama !".

Akhirnya tibalah saat pengumpulan dana, beliau memasang banyak sekali tulisan spanduk pencarian dana berbunyi "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. (1 Yohanes 3:16) - SUMBANG SEKARANG !!!"

Banyak pihak yang protes bahwa sekolah John Hopkins University dan rumah sakit John Hopkins harus dipisahkan dari agama. Bahkan ada yang menuntut beliau. Di sini dr. Carson berkata bahwa untuk berbuat baik, banyak yang akan tidak suka. Disinilah kita memerlukan kekuatan Tuhan. Tanpa Tuhan, tidak akan ada hal positif apapun yang bisa terjadi. Kita tidak bisa mengubahkan dunia tanpa Tuhan.

Ketika seorang pengacara hendak menuntutnya, dr Carson balik menantang, "Mengapa tidak langsung saja tanya ke Mahkamah Agung (supreme court of justice) ?" Si pengacara menjawab dengan meledek, "Anda tidak tahu aturan, tidak bisa langsung ke mahkamah agung !".
dr. Carson menjawab "Bisa, minggu depan saya akan menerima penghargaan oleh hakim agung, di mahkamah agung. Saya akan tanya langsung saat itu !" 
Jawaban dari mahkamah agung adalah "They don't know what you're doing, just get on with it !". Tentu, ini adalah sebuah jawaban dari seseorang yang sudah Tuhan jamah. Amin!

Kebenaran

Apakah kebenaran itu? 
Oleh : CARM

Kebenaran bukanlah suatu perasaan. Kebenaran bukan pula sebuah ide saja. Kebenaran terdapat dalam Alkitab. Kelompok Kultus (Cults) keliru karena tidak memiliki kebenaran ini. Yakni, mereka memiliki pemahaman yang keliru mengenai Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus, dan karya Kristus di atas kayu salib. Karena mereka keliru dalam hal ini, mereka juga keliru mengenai doktrin keselamatan.

Ketulusan dan pekerjaan baik tidak dapat menjembatani jurang dosa antara Allah dan manusia. Hanya darah Kristus yang dapat membersihkan seseorang (Ibrani 9:22; Yohanes 14:6). Ketulusan hati dan perbuatan baik hanyalah upaya diri sendiri untuk memperoleh penghargaan dari Allah. Ketulusan hati menjadi kesombongan ketika dipakai untuk
memperoleh pembenaran dari Allah: "Tapi Allah, lihatlah hatiku. Lihat betapa tulus hatiku? Saya berhak untuk tinggal di sorga."

Tidak. Jika ketulusan hati dan perbuatan baik cukup untuk memuaskan hati Allah, maka Ia tidak akan memberikan kita Alkitab untuk mengkoreksi ide-ide tulus kita yang keliru itu, dan Ia tidak akan mengirimkan Putra-Nya untuk melakukan pekerjaan yang tidak mungkin bisa kita lakukan.

Kebenaran adalah apa yang Allah katakan sebagai benar.

Hanya Ada Satu Allah
Kekristenan:
Doktrin Kekristenan sejati hanya mengakui adanya satu Allah di mana pun, kapan pun. Tidak ada Allah sebelum Allah; dan tidak akan ada Allah sesudah Allah (Yesaya 43:10). Allah bahkan tidak pernah tahu kalau ada Allah lain (Yesaya 44:8). Hanya ada satu Allah di seluruh alam semesta ini. Hanya satu. Paham ini disebut Monotheisme.

Mormonisme:
Dewa bumi hanyalah salah satu dari begitu banyak dewa-dewa (Bruce McConkie, Mormon Doctrine, hal. 163). Paham ini disebut polytheisme. Tetapi, mereka hanya menyembah satu dari banyak illah ini, yaitu yang dikenal dengan Elohim. Paham begini disebut monolatry. Elohim (begitulah kaum Mormon memanggil Allah Bapa) dulunya adalah manusia dari planet lain (Mormon Doctrine, hal. 321).
Elohim menjadi seorang Dewa lalu datang ke bumi ini bersama istrinya yang seorang dewi (Articles of Faith, oleh James Talmage, hal. 443).
Kaum mormon memiliki potensi untuk menjadi dewa bagi dunia mereka sendiri (Teachings of the Prophet Joseph Smith, halaman 345-347, 354).

Pengajaran ini bertentangan dengan Alkitab. Kaum Mormon adalah polytheist. Kekristenan bersifat monotheistik. Mormonisme sungguh keliru.

J.W. (Saksi Yehovah):
Mereka percaya hanya ada satu Allah (Make Sure of All Things, hal 188). Mereka memanggil Allah "Yehovah." Dalam hal ini, Kaum J.W. benar. Memang hanya ada satu Allah.

Trinitas
Kekristenan:
Allah adalah pribadi-pribadi trinitas: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah Bapa bukanlah pribadi yang sama dengan Putra. Putra bukanlah pribadi yang sama dengan Roh Kudus. Roh Kudus bukanlah pribadi yang sama dengan Bapa. Ketiganya abadi, Allah, dan Maha Tahu.

Keberatan-keberatan yang diajukan atas Trinitas adalah bahwa konsep ini tidak logis. Logika seharusnya tidak boleh mengungguli Alkitab. Jika memang berasal dari Allah, pasti akan ada hal-hal yang memang sulit dipahami. Tambahan lagi, sidik jari Allah terlihat dalam semua ciptaan-Nya. Dalam Roma 1:20 dikatakan bahwa atribut-atribut Allah yang tidak kelihatan terlihat jelas dalam ciptaan-Nya. Ciptaan dibuat dari trinitas dari Trinitas: waktu, ruang, dan materi.
Waktu terdiri dari masa lalu, kini, dan masa depan. Tiap bagian berbeda, tetapi mereka berada dalam natur yang sama: waktu.
Ruang adalah tinggi, lebar, dan kedalaman. Tiap bagian berbeda, tetapi mereka berada dalam satu natur: ruang.
Materi itu padat, cair, dan gas. Tiap bagian berbeda, tetapi mereka memiliki natur yang sama: < p>

Mormonisme:
Trinitas adalah seperti kantor yang dihuni oleh 3 allah: ada sesosok dewa yang disebut bapa, ada sesosok dewa yang disebut anak, dan seorang dewa lain yang dipanggil roh kudus. Kekeliruannya adalah dalam asumsi bahwa satu pribadi haruslah berada dalam satu bentuk fisik (Doctrine and Covenants, 130:22) -- sesuatu seperti darah dan daging.

Paham ini berkontradiksi dengan pandangan ortodoks mengenai Trinitas dan paham ini mengajarkan Allah yang lebih dari satu (Yesaya 43:10; 44:6,8).

J.W. (Saksi Yehovah):
Mereka menolak Trinitas (Let God be True, hal. 100-101; Make Sure of All Things, hal.386). Mereka mengatakan hanya ada satu pribadi dalam Allah: yaitu Bapa.

Mereka keliru karena menolak doktrin kebenaran dari Trinitas.

Yesus
Kekristenan:
Yesus adalah pribadi kedua dalam Trinitas. Yesus adalah Allah sekaligus manusia. Ia sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia (Kolose 2:9). Ia yang berada dalam rupa Allah, mengosongkan diri-Nya, dan menjadi manusia (Filipi 2:5-8). Sebagai Allah yang juga manusia, Ia menjadi pengantara kita (1 Timotius 2:5). Yesus tidak diciptakan (Yohanes 1:1-3), tetapi Ia pencipta segala sesuatu (Kolose 1:16-17).

Mormonisme:
Yesus, iblis, dan kita semua adalah anak-anak roh yang lahir dalam pre-eksistensi (sebelum ada segala sesuatu), yang adalah turunan Allah Bapa dan istri dewinya (Mormon Doctrine hal. 516; Journal of Discourse, Vol. 4, hal. 218).

J.W. (Saksi Yehovah):
Yesus adalah Mikhail si Penghulu Malaikat yang menjadi manusia, mati di atas sebuah pancang/tiang -- bukan salib -- bangkit dalam bentuh roh, dan kembali ke surga untuk menjadi malaikat lagi (The Watchtower, May 15, 1963, hal. 307; The New World, 284).

Masalahnya di sini adalah Yesus versi mereka (Mikhail) adalah makhluk ciptaan. Karena itulah Alkitab J.W. menambahkan 4 kali kata lainnya (other) dalam Kolose 1:16-17. Kata lainnya ini bukanlah teks asli Alkitab.

Keselamatan
Kekristenan:
Keselamatan, atau pengampunan atas dosa-dosa, adalah sesuatu yang diberikan Allah kepada anda. Ini adalah anugrah yang cuma-cuma (Roma 6:23). Orang berdosa dibenarkan dalam mata Allah semata-mata hanyalah karena iman dari orang percaya atas pengorbanan Kristus di kayu salib. Pembenaran, atau dinyatakan sebagai benar, dicapai melalui iman (Roma 5:1). Perbuatan kita tidak memiliki andil dalam keselamatan kita. Jika perbuatan kita memiliki andil, maka Yesus mati sia-sia (Galatia 2:21).

Mormonisme:
Doktrin pengampunan dosa dari Mormonisme adalah bahwa anda diselamatkan oleh anugrah setelah berbuat semampu anda (Article 8 of the Church of Jesus Christ of Latter-day Saints; Articles of Faith, karya James Talmage, hal. 92). Mereka menambah-nambahi apa yang telah diselesaikan oleh Kristus di kayu salib dengan mengatakan bahwa Yesus telah berbuat demikian sehingga kita memiliki kemungkinan untuk diampuni. Perbuatan kita harus dicampur dengan perbuatan Kristus barulah dosa-dosa kita layak diampuni oleh Allah.

Kekeliruan mereka adalah bahwa mereka menganggap bahwa perbuatan kita memiliki peran dalam keselamatan kita, dalam pengampunan atas dosa- dosa kita. Kenyataannya tidaklah demikian. Dalam Galatia pasal 3 dan 5, Paulus menyinggung masalah ini dan menyalahkan pemikiran yang tetap mengganggap perlunya menjalankan Hukum Taurat supaya dapat dibenarkan Allah. Keselamatan adalah anugrah yang cuma-cuma dari Allah, dibayar penuh oleh darah Kristus.

J.W. (Saksi Yehovah):
Pengampunan dosa adalah melalui perbuatan baik dan kerja sama dengan Allah (Studies in the Scriptures, Vol. 1, hal. 150, 152). Mereka menganggap bahwa pengorbanan Kristus (yang sebenarnya si penghulu malaikat Mikhail) telah membuka pintu yang telah ditutup oleh Adam. Dengan kata lain, karena pengorbanan Kristuslah anda bisa bekerja sama dengan Allah dan memperoleh keselamatan.

Kekeliruan mereka sama seperti yang telah diterangkan dalam kesalahan kaum Mormon. Perbuatan tidak memiliki peran dalam keselamatan kita. Perbuatan-perbuatan kita baru memiliki arti setelah kita diselamatkan, bukan sebelumnya, dan untuk memperoleh keselamatan tidak diperlukan kerja sama dengan apa pun. Menambahi apa yang telah dikerjakan Kristus di kayu salib sama dengan mengatakan bahwa apa yang dikerjakan Yesus di kayu salib belumlah cukup. Ini adalah serangan terhadap Allah.

Kesimpulan
Kebenaran itu penting bukan semata-mata karena ia benar. Kebenaran penting karena ia mendefinisikan siapa dan apa yang kita percaya. Apakah Yesus itu saudara Iblis seperti dalam Mormonisme? Apakah Ia malaikat yang menjadi manusia? Atau, apakah Ia adalah pencipta alam semesta, pribadi kedua dari Trinitas? Hanya satu di antara pendapat itu yang benar.

Iman sangat vital. Tetapi iman yang mengimani hal-hal yang salah adalah sama saja dengan tidak memiliki iman. Iman itu benar jika objek yang diimaninya benar. Inilah pentingnya mengenal Yesus yang benar. Yaitu yang seperti diceritakan oleh Alkitab, bukan versi Mormonisme, atau pun versi kaum Saksi Yehovah.

Keabadian adalah waktu yang terlalu panjang untuk kekeliruan kita. Terutama jika kita keliru mengenai Yesus.

Tuesday, December 21, 2010

Sudut Pandang

As a man thinks in his heart, so is (Proverbs 23:7)

Seorang pemuda negro dengan wajah sedih mendatangi Pdt. Robert H. Schuller. "Pak pendeta, semuanya kacau. Aku ini orang yang malang," katanya penuh keputusasaan. Dengan rasa penasaran pendiri gereja The Crystal Cathedral di California itu balik bertanya, "Lho, memangnya ada apa?" Spontan si negro menyahut, "Aku ini orang yang celaka. Aku terlahir sebagai negro. Tidak mungkin aku bisa sukses dalam hidup ini."
Sejenak Robert terdiam, lalu berkata, "Saudaraku, saudara berasal dari keturunan mana?" Kembali si negro menjawab dengan nada putus asa. "Nenek moyangku dari Afrika. Kami keturunan budak yang diangkut dengan kapal dari Afrika ke Amerika. Itulah sebabnya aku tidak mungkin sukses dalam hidupku," ujarnya.
"Saudaraku, coba renungkan kembali. Puluhan tahun lalu saat nenek moyang Saudara datang ke sini tentu mereka menaiki kapal. Saat itu kapal-kapal yang ada belum secanggih sekarang. Teknologi pelayaran pun masih kuno. Tentu mereka menempuh perjalanan berbulan-bulan. Jika tidak kuat, mereka akan mati di atas kapal. Nenek moyang Saudara tentu sangat kuat hingga dapat bertahan hidup sampai ke Amerika ini. Saudara adalah keturunan orang kuat!" jelas Robert yang juga pakar possibility thinking itu.

Pemuda negro itu terdiam sembari merenungkan pernyataan Robert. "Benar juga. Aku ini keturunan orang kuat. Kalau nenek moyangku lemah tentu aku tidak akan ada sekarang ini," katanya membenarkan penjelasan Robert.
"Saudara juga harus tahu, kalau nenek moyang Saudara adalah para pekerja keras. Jika tidak, tentu mereka sudah mati sejak tiba di Amerika. Entah karena penindasan atau penyakit," lanjut Robert.
Si negro kembali mengamini ucapan Robert. Perlahan namun pasti kepercayaan dirinya mulai tumbuh, "Aku ini keturunan orang yang kuat dan pekerja keras."

Tahun-tahun pun berlalu. Suatu hari Robert kedatangan tamu seorang pemuda negro yang gagah dan berpakaian rapi. "Saudara, rasanya saya pernah bertemu Saudara.
Namun maaf, saya lupa," kata Robert.
"Pak Pendeta, sayalah pemuda negro yang putus asa saat datang menemui Bapak beberapa tahun silam. Berkat motivasi Bapak, sekarang saya bisa menjadi orang sukses. Saya kini seorang dokter. Terima kasih Pak Pendeta," kata si negro.

Robert Schuller sangat terharu. Ia tidak menyangka kalau ucapannya beberapa tahun silam telah berhasil mengubah hidup seorang anak manusia.

Sumber : Bahana – Mitos Sukses

Popular Posts