Kekuatan Iman Bergantung pada Komitmen
Emas tetap emas meski ia ditaruh di keranjang sampah. Orang beriman yang benar tak akan terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya
Suatu kali Penulis bertanya kepada seorang remaja pecandu narkoba, “Mengapa kamu melakukan tindakan yang sangat merugikan ini? Apakah kamu tidak ingat masa depanmu?” Dengan enteng remaja ini menjawab, “Saya bisa seperti ini karena pengaruh lingkungan. Setiap hari bertemu teman-teman pecandu narkoba maka saya juga ikut-ikutan, agar dapat diterima oleh mereka.”
Jawaban semacam ini paling aman untuk membenarkan diri. Bukankah hampir setiap orang menyalahkan lingkungan ketika terjadi sesuatu yang kurang baik di dalam dirinya? Suami menyalahkan istri ketika kepergok memiliki WIL atau sebaliknya.
Berdasarkan Alkitab, sesungguhnya pengaruh lingkungan dalam kehidupan anak-anak Tuhan tidaklah menentukan. Atau katakanlah tidak terlalu berpengaruh. Lingkungan di sekitar kita boleh brengsek, tetapi bagi anak-anak Tuhan kondisi demikian tidak boleh mempengaruhi imannya. Kurang bijaksana jika seseorang berkata, “Hidup saya ini kurang benar, karena pengaruh lingkungan. Saya kan tinggal di tengah-tengah lingkungan yang sangat buruk!” Benarkah demikian? Ataukah ini hanya tindakan untuk membenarkan diri?
Agar tidak terbuai dengan alasan serupa, saat ini mari kita kembali kepada Alkitab, yakni Firman Tuhan yang merupakan standar tertinggi dalam kehidupan iman Kristiani. Marilah kita memperhatikan seorang tokoh Perjanjian Lama yang sama sekali tidak terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya. Orang ini tetap teguh di dalam iman sekalipun diterpa zaman yang demikian hebat. Dia adalah Nuh.
Memulai renungan ini, satu pertanyaan yang layak kita perhatikan adalah, “Bagaimana Nuh dapat mempertahankan iman di tengah orang-orang yang merendahkan dan melecehkan Tuhan?”
Untuk menemukan rahasia besar ini, marilah kita membaca ayat Firman Tuhan yang tertulis dalam Kejadian 6: 9-22. Dari ayat-ayat itu, kita akan belajar beberapa hal yang menyebabkan Nuh dapat berdiri kokoh.
Pertama, Bermula dari Komitmen PribadiPermulaan pasal tersebut membahas tentang dekadensi moral manusia yang hidup di zaman itu. Misalnya, tak ada penghargaan sama sekali terhadap kesakralan pernikahan. Alkitab menyaksikan seorang lelaki boleh mengambil istri dari perempuan siapa saja yang disukainya. Inilah gambaran kehidupan manusia yang ada pada zaman itu. Ini berarti kekudusan Allah diinjak-injak dan kemuliaan Allah direndahkan. Mengerikan bukan?
Dalam situasi zaman seperti ini Nuh bergumul untuk mempertahankan imannya. Walaupun gejolak zaman demikian parah, Nuh tetap tak bercela di hadapan Allah. Apabila saat itu dicari seseorang yang mengasihi Allah, dapat dipastikan, jawabannya pasti tidak ada, sebab bumi telah dilingkupi dosa. Hanya Nuh seorang yang setia kepada Allah.
Membuat komitmen di tengah gejolak zaman yang tidak menentu merupakan langkah awal yang baik untuk mempertahankan hidup seturut kehendak Allah. Setiap hari Nuh berhadapan dengan kejahatan, bertetangga dengan orang-orang yang tidak mengasihi Allah, namun ia tak terpengaruh sedikit pun.
Emas tidak pernah manjadi sampah sekalipun dibuang di keranjang sampah. Emas tetap emas walaupun tak dikelilingi sesama emas. Sangat berbeda dengan bunglon. Binatang ini sangat cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Apabila berada di tempat berwarna hitam, akan berubah menjadi hitam.
Jika iman Kristen seperti ini, sangat berbahaya sebab tidak memiliki komitmen pribadi kepada Allah, serta tidak dapat bertahan hidup di zaman ini.
Kedua, Hidup dalam KebenaranSungguh aneh tetapi nyata, bagaimana mungkin seseorang dapat hidup benar dalam situasi komunitas sosial yang tidak mendukung? Sangat gampang bagi kita untuk beriman apabila ada faktor pendukungnya. Misalnya, dikelilingi orang-orang saleh yang menyerahkan diri kepada Kristus.
Apabila faktor pendukungnya ada, sangat mudah bagi kita untuk tetap beriman. Tetapi berbeda pada zaman Nuh. Faktor pendukung seperti ini tidak ada sama sekali. Setiap kali Nuh mendengar kata-kata hujatan kepada Allah. Tetapi Alkitab berkata bahwa Nuh tetap hidup benar di hadapan Allah. Tidakkah data Alkitab itu keliru? Tentu tidak! Sebab Alkitab merupakan wahyu Allah yang tidak mungkin salah. Sumber kekuatan Nuh terletak ketika menyerahkan diri dan hidup dalam kebenaran dan tidak sudi berkompromi dengan apa pun yang terjadi.
Ketiga, Hidup Bergaul dengan AllahJika kita bergaul akrab dengan seseorang, kita pasti tahu bagaimana suasana hati teman kita ketika bertemu dengannya. Apakah dia sedang bergembira atau bersedih. Demikian juga halnya dengan Nuh. Orang ini memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan Allah. Buktinya? Allah membentangkan seluruh rencana-Nya dan apa yang akan terjadi dengan dunia ini hanya kepada Nuh seorang.
Rahasia tentang perbuatan-Nya yang akan datang dibukakan secara gamblang. Allah berkata, “Akan mengakhiri hidup segala makhluk.” Selanjutnya Nuh diperintah untuk segera membuat bahtera sebab sebentar lagi air bah akan memenuhi bumi. Orang-orang yang sedang asyik dalam dosa tidak mendengar suara Allah itu, kecuali Nuh. Bukankah hal ini membuktikan bahwa Allah menganggapnya sebagai sahabat. Sungguh suatu anugerah Tuhan jika Nuh mendapat penghargaan sebesar ini. Untuk memperoleh hal tersebut, tentu tidaklah gampang. Nuh harus berani membayar harga dengan menjaga pergaulan yang harmonis dengan-Nya. Persekutuan yang terus-menerus dilakukan Nuh merupakan hal yang menyukakan Allah.
Bagaimana dengan kita yang hidup pada abad ini? Adakah kita menyadari bahwa zaman kita sekarang mirip dengan zaman Nuh? Banyak orang berasyik dan berbanggaria dengan dosa tanpa mengindahkan kekudusan Allah. Karenanya, sangat bijaksana bila kita memperhatikan tiga hal di atas. Amin.
(Penulis adalah rohaniwan Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia, Surakarta)