Thursday, February 20, 2014

Cinta Sejati

EKSPRESI CINTA (Yohanes 12:1-8)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. (Yohanes 12:7)

Joe DiMaggio, pemain baseball legendaris AS yang juga suami kedua Marilyn Monroe, sangat berduka ketika mantan isterinya itu meninggal. Rupanya, Joe masih mencintai Marilyn sekalipun pernah dikhianati oleh mantan istrinya itu. Joe pun memutuskan untuk menangani semua urusan pemakaman Marilyn dan selama 20 tahun berikutnya, seminggu tiga kali Joe meletakkan selusin mawar merah di kuburan Marilyn.

Cinta atau kasih sayang memungkinkan seseorang melakukan hal yang sepertinya tidak logis. Begitu pula yang dilakukan Maria ketika mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal harganya. Agak berbeda dengan Joe yang mengirim selusin mawar ke pusara mantan istrinya, Maria mengurapi kaki Yesus untuk mengingat hari penguburan Yesus. Ya, tidak lama setelah peristiwa di rumah Lazarus itu, Yesus menggenapi misi agung-Nya dengan memberikan nyawa-Nya di kayu salib. Mengenai peristiwa ini, Markus mencatat perkataan Yesus: "Sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia" (Mrk 14:9).

Jika seseorang sungguh mencintai, ia akan mengekspresikannya tanpa memikirkan untung atau rugi. Joe mengungkapkan cintanya kepada Marilyn dengan memberikan selusin bunga mawar. Maria merelakan minyak yang mahal sebagai ungkapan cinta kepada Tuhannya. Kita juga bisa mengungkapkan cinta kepada Tuhan, pasangan, orangtua, anak, maupun kepada sesama kita. Mari ungkapkan cinta kita selagi orang-orang yang kita kasihi masih hidup, supaya kelak tidak ada penyesalan. --WSP

CINTA YANG SEJATI MEMBERI TANPA PAMRIH, TANPA MEMPERHITUNGKAN UNTUNG ATAU RUGI.

Sumber : Renungan Harian

Sahabat

Ujian ketulusan hati
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, ... (Mazmur 73:1)

Jam enam kurang enam menit, kata jam bundar besar diatas meja informasi di Grand Central Station. Letnan Angkatan Darat bertubuh jangkung dan muda usia yang baru datang dari arah rel kereta mengangkat wajahnya yang tebakar matahari, dan matanya memicing untuk melihat waktu yang tepat. Jantungnya berdebar keras sehingga mengejutkannya karena ia tak dapat mengendalikannya. Enam menit lagi, ia akan bertemu dengan wanita yang telah mengisi tempat istimewa dalam hidupnya selama 13 bulan ini, wanita yang belum pernah ia lihat, tapi yang kata-kata tertulisnya telah menemaninya dan senantiasa menabahkan hatinya. Ia berdiri sedekat mungkin ke meja informasi, sedikit di luar lingkaran orang yang mengerumuni petugas.

Letnan Blandford teringat suatu malam tertentu, saat pesawatnya terperangkap di tengah sekelompok kaum Zero. Ia melihat wajah salah seorang pilot musuh yang menyeringai. Dalam salah satu suratnya, ia mengakui pada sahabat penanya bahwa ia sering merasa takut, dan hanya beberapa hari sebelum pertempuran ini, ia menerima jawaban surat darinya: "Tentu saja kamu takut.. semua pria pemberani pun begitu. Bukankah Raja Daud juga mengenal takut? Karena itulah dia menulis Mazmur 23. Lain kali, saat kamu meragukan dirimu, aku ingin kamu mendengar suaraku membacakan ini untukmu "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku". Dan ia ingat; ia mendengar khayalan suaranya, dan suara itu memperbaharui kekuatan dan keterampilannya.

Sekarang ia akan mendengar suara aslinya. Pukul enam kurang empat. Wajahnya semakin tegang. Di bawah atap luas berbintang, orang berjalan bergegas, seperti benang-benang berwarna dianyam ke dalam jaring-jaring kelabu. Seorang gadis mendekatinya, dan Letnan Blandford tersentak. Gadis ini memakai sebuah bunga merah pada kelepak jasnya, tapi bunganya adalah bunga buncis merah, bukan mawar merah kecil yang sudah mereka sepakati. Lagipula, gadis itu terlalu muda, sekitar 18, sedangkan Hollis Meynell sudah sejujurnya mengatakan bahwa ia berumur 30.

"Memangnya kenapa?" ia menjawab waktu itu. "Aku 32." Padahal, usianya baru 29.

Pikirannya kembali pada buku-buku itu yang pasti ditaruh sendiri oleh Tuhan ke dalam tangannya dari antara ratusan buku perpustakaan Angkatan Darat yang dikirim ke kamp latihan Florida. Of Human Bondage, judulnya; dan di seluruh buku itu ada catatan yang ditulis dengan tulisan wanita. Ia selalu membenci kebiasaan mencoret-coret buku, tapi kata-kata ini berbeda. Ia tak pernah menyangka bahwa seorang wanita dapat memandang ke dalam hati seorang pria dengan begitu lembut, begitu pengertian. Namanya ada pada sampul: Hollis Meynell.

Ia mencari buku telepon New York City dan menemukan alamatnya. Ia menyuratinya, dan wanita itu membalas. Hari berikutmya ia dikirim pergi, tapi mereka melanjutkan surat-menyurat. Selama 13 bulan, wanita itu dengan setia membalas, dan lebih dari sekedar membalas. Saat surat si letnan tidak tiba, wanita itu tetap menulis dan sekarang si letnan yakin bahwa ia mencintai wanita itu dan wanita itu mencintainya. Tapi, wanita itu menolak semua permintaannya untuk mengirimkan fotonya. Tentu saja hal tersebut kurang baik.

Tapi ia menjelaskan : "Kalau perasaanmu terhadapku sungguh-sungguh, berdasarkan ketulusan hati, wajahku tidak akan menjadi masalah. Misalnya aku memang cantik. Aku akan selalu dihantui perasaan bahwa kamu mengambil keputusan berdasarkan hal itu, dan cinta semacam itu membuatku jijik. Misalkan aku biasa-biasa saja (dan kamu harus mengakui bahwa ini lebih mungkin). Lalu aku akan selalu cemas bahwa kamu terus menyuratiku karena kamu kesepian dan tak punya orang lain. Jangan, jangan minta fotoku. Kalau kamu datang ke New York, kamu bisa menemuiku, lalu kamu dapat mengambil keputusan. Ingat, kita berdua bebas untuk menghentikan atau melanjutkan persahabatan kita-apa pun yang kita pilih."

Pukul enam kurang satu - hati Letnan blandford meloncat lebih tinggi dari yang pernah dilakukan pesawatnya. Seorang wanita muda melangkah ke arahnya. Tubuhnya tinggi dan ramping; rambut pirangnya mengikal dari telinganya yang indah. Matanya biru bagai bunga, bibir dan dagunya memiliki ketegasan yang lembut. Dalam pakaian hijau pucat, ia seperti penjelmaan masa musim semi. Ia melangkah ke arah wanita itu, benar-benar lupa melihat bahwa si wanita tidak memakai bunga mawar, dan saat ia bergerak, sebuah senyuman kecil menantang melengkungkan bibirnya.

"Awas tertabrak, bung?" gumannya.

Dengan tak terkendalikan, ia melangkah selangkah mendekatinya. Lalu ia melihat Hollis Meynell. Wanita itu berdiri hampir tepat di belakang gadis tadi, seorang wanita berusia jauh di atas 40, rambutnya yang beruban dimasukkan di bawah topi tua. Tubuhnya lebih dari gemuk; pergelangan kakinya dijejalkan ke dalam sepatu hak rendah. Tapi, ia mengenakan mawar merah pada kelepak kusut jaket coklatnya. Gadis berpakaian hijau tadi telah bergegas pergi. Blandford merasa seakan terbelah dia, begitu kuat hasratnya untuk mengikuti si gadis, tapi begitu dalam kerinduaannya pada wanita yang jiwanya telah menemani dan menjunjung jiwanya; dan wanita itu berdiri di depannya. Wajahnya yang montok pucat terlihat lembut dan bijak; ia dapat melihatnya sekarang. Mata kelabunya berkelip hangat dan ramah.

Letnan Bladford tidak ragu-ragu. Jarinya mencengkeram buku kecil Of Human Bondage yang berkulit biru dan sudah usang, yang menjadi ciri-cirinya untuk si wanita. Ini tak akan menjadi cinta, tapi akan menjadi sesuatu yang berharga, sesuatu yang lebih langka daripada cinta-persahabatan yang telah dan selalu akan disyukuri olehnya. Ia menegakkan bahunya yang lebar, memberi hormat, dan menyodorkan buku itu pada si wanita, meskipun selagi ia bicara, ia merasa kaget oleh kepahitan rasa kecewanya.

"Saya Letnan John Blandford dan ibu... ibu adalah Bu Meynell. Saya senang kita bisa bertemu. Bolehkah... bolehkah saya mengajak Ibu makan malam?"

Wajah wanita itu melebarkan senyuman sabar. "Ibu tak tahu ini masalah apa, nak," jawabnya. "wanita berbaju hijau - yang baru saja lewat - memohon Ibu mengenakan mawar ini pada baju ibu. Dan katanya, kalau kamu mengajak Ibu makan, Ibu harus memberi tahu, dia menunggumu di rumah makan besar di seberang jalan. Katanya ini semacam ujian. Ibu sendiri punya dua putra yang jadi tentara, jadi Ibu tak berkeberatan menolongmu.

(Kwik - Max Lucado, And The Angels Were Silent)

Sumber : Klinik Rohani

Tidak Membalas

SALURAN KASIH-NYA (1 Petrus 3:8-12)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat. (1 Petrus 3:9)

Sikap Paus Yohanes Paulus II saat mengalami musibah Pribadi menorehkan kesan yang mendalam. Suatu ketika seorang pria berusaha membunuhnya dengan menembakkan senjata api langsung ke dadanya. Ajaib, maut tidak berhasil merenggut nyawanya. Lebih ajaib lagi,  setelah keluar dari rumah sakit, paus langsung mengunjungi pria tadi di penjara, mengampuni perbuatannya, dan mendoakannya. Sungguh  sebuah tindakan yang penuh kasih.

Firman Tuhan sering menekankan pentingnya peran kasih. Di sini  Petrus menunjukkan beberapa langkah praktis untuk mempraktekkan  kasih, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama (ay. 8). Salah satu ciri anak Tuhan adalah tidak membalas ketika diperlakukan secara  jahat dan mengutamakan perdamaian (ay. 11). Kita merenungkan kebaikan-Nya dan mengungkapkan kebaikan-Nya itu kepada sesama. Yang memampukan dan menguatkan kita mempraktekkan kasih itu tidak lain  adalah penyertaanNya: "mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong" (ay. 12).

Dengan gaya hidup yang penuh kasih itu, kita dapat menjadi saluran  berkat bagi sesama (ay. 7). Kita dapat memperkenalkan kasih-Nya  kepada jiwa-jiwa yang belum mengenal Dia. Saat kita melangkah dalam kerendahan hati dan kelemahlembutan, kiranya orang-orang di sekitar  kita dapat merasakan kasihNya yang mengalir melalui kehidupan kita.  Selanjutnya, kiranya kesaksian itu menggugah mereka untuk mengenal Tuhan secara pribadi. --RES

PANGGILAN HIDUP KITA ADALAH HIDUP DI DALAM KASIH-NYA DAN MENJADI SALURAN KASIH-NYA BAGI SESAMA.

Sumber : Renungan Harian

Ikhlas

PENYEMIR DERMAWAN (Amsal 3:27-35)
Dikirim oleh : Evi Sjiane Djiun

Janganlah menahan kebaikan daripada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. (Amsal 3:27)

Albert Lexie adalah penyemir sepatu dari Monessen, Pennsylvania, AS. Bukan tukang semir biasa, namun tukang semir yang secara dermawan menyumbangkan dana untuk badan amal. Ia bekerja di Rumah Sakit Anak di Pittsburgh sejak awal 1980-an. Sampai dengan Februari 2013, ia telah mengumpulkan uang senilai 200 ribu dolar (sekitar 1, 9 miliar rupiah) dari uang tips selama bekerja dan menyumbangkannya untuk dana perawatan bagi orang yang tidak mampu. Lexie kemudian mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain sebagai "All-Stars Among Us" oleh majalah People. Terbit pula buku kisah hidupnya, berjudul Albert's Kids: The Heroic Work of Shining Shoes for Sick Children.

Untuk menjadi orang yang dermawan, kita tidak perlu menunggu sampai memiliki harta kekayaan yang berlimpah terlebih dulu. Apa yang sudah kita miliki di dalam hidup saat ini bisa kita gunakan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk menolong orang lain. Sekecil apa pun karya yang bisa kita hasilkan, sepanjang kita melakukannya dengan penuh sukacita dan keikhlasan, tentu hal itu dapat menjadi berkat bagi orang lain.

Kita dipanggil untuk melakukan perbuatan baik bagi mereka yang membutuhkan dan berhak menerimanya. Selama kita mampu melakukannya, tidaklah patut jika kita menahan diri dalam berbuat baik (ay. 27). Kemampuan yang Tuhan karuniakan bukan hanya untuk kita gunakan bagi kepentingan diri sendiri, melainkan untuk memberkati sesama juga. Maukah kita berbagi? --WB

KEDERMAWANAN BUKAN MENGALIR DARI KELIMPAHAN, MELAINKAN DARI DALAM HATI YANG BERBELASKASIHAN.

Sumber : Renungan Harian

Popular Posts